Cerbung Filosofi Randa Tapak "Mendaki Tanpa Kepastian" Halaman 3 Karya Muraz Riksi

Table of Contents

 


HALAMAN 3

BAB TAPAK II
Mendaki Tanpa Kepastian


Aku tak mungkin larut dalam penyesalan yang tanpa kejelasan atau mati tanpa perjuangan. Setidaknya jika 
aku mati, adalah satu dua orang yang mengenangku

Kumulai langkahkan kaki, meninggalkan Lembah Telaga Mane untuk selama-lamanya. Dengan buku catatan ibu dan jurnal ayah yang kubawa, seiring langkah berjalan aku terus mengulang kalimat-kalimat yang tertulis di dalamnya. Setidaknya itulah obat untuk hatiku yang terluka. 

Tiba langkahku di gerbang rumah tanpa menoleh ke belakang, hatiku mengecam tegas, “takkan 
aku berpijak pada lembah kematian ini. Cukuplah, rumah panggung sebagai kuburan kenangan pahitku di sini”. 

Aku akan ke kota, aku ingin hebat seperti ayahku, meskipun aku tak kenal betul pada laki-laki berambut gondrong dan berwajah tampan yang diceritakan Ibu. 

Sebelum benar-benar kuhapus Lembah Telaga Mane dari 
hidupku, ada baiknya untuk menjawab rasa penasaran akan pelajaran di puncak bukit itu. Sembari kaki yang menyonsong jalan setapak, raut-raut wajah pohon terdiam. Tak ada nyanyian burung atau hewan lain yang menyapaku. 

Aku benar-benar sepi, sendiri dalam jalan yang tak pasti. Aku tak ingin menoleh kebelakang, tatapanku hanya alang-alang. Tibaku di puncak bukit, aku berbalik badan “Fabiayyi ala ir
abbikuma tukadziban”, mulutku tidak berkompromi, Kalam Allah terus terucap dan hati ikut berbisik “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”. 

Berulang-ulang 
kalam itu meyulam pikiranku yang robek, berderu dengan nafas dan berdebat dengan dada yang terjerat keputusasaan. Masih saja kalimat Sang Pemilik Alam “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” berdengung keras di kepalaku.

 

Selalu ada gelap dan pahit yang kau alami

dan itu tidak terjadi dengan sendirinya

Melainkan engkau sedang ditempa oleh waktu

Hingga pembelajaranmu adalah hidup bukan sekedar menunggu

Filosofi Randa Tapak


Kota Modern Ada Di Hadapanku
Beristirahatku di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, laksanaku menunaikan kewajiban, senja yang kutatap kian hitam dan malam gelap mulai berbintang. Aku buka buku catatan Ibu, kubiarkan pena berkelana sesuka hati di atasnya. Kata-kata dari lautan tinta hitam menjalar pada tanah putih persegi empat dan berharap itulah yang nantinya menjadi jurnal perjalananku.

“Sudut lembah, di daerah yang jauh dari kebisingan, hidup seorang kakek bersama cucu laki-lakinya yang berumur 20 tahun. Semenjak ditinggal pergi istri dan anak perempuannya ke sebuah dunia yang tak dapat didatangi. 

Jauh dari kenyataan dan dunia itu tak pernah terdeteksi di peta mana pun. Kakek tidak sanggup lagi untuk bekerja keras yang menguras tenaga, kala musibah menimpa hidupnya. Aku setiap hari pergi memancing di telaga yang tidak jauh dari rumah. 

Telaga tersebut selalu dipenuhi oleh para pemancing yang mencari nafkah untuk keluarganya. Biaya hidup yang tinggi membuat penduduk di Lembah menjadikan profesi memancing sebagai salah satu mata pencarian mereka”.

*****

Seusai menulis cacatan itu, aku membacanya kembali. Aku tertawa sendiri, ternyata aku tidak hebat dalam menulis seperti rangkaian kisah pada jurnalnya Ayah. Pelataran Mesjid, peristirahatanku sejenak, kutatap langit yang luas menghampar. Ada begitu banyak bintang dan diantaranya kuyakin ada cahaya ayah, ibu, nenek dan kakek yang sedang menyinari gelap malamku. 

Kucoba bangun dari keputus-asaan yang sempat menghasut langkahku. Adakalanya dalam kesendirian ini kumengerti bahwa aku benar-benar tidak seorang diri. Sang Pemilik Alam yang menjagaku, yang akan mengarahkanku menuju jalan-Nya. 

Begitu banyak keindahan yang kutatap, saat payung indah mekar harum di mesjid ini, saat lantunan merdu kumandang azan isya menyeru atasku. Segera ku berbenah dari pelataran, membasahi tubuh dengan air suci yang mengalir dari pipa-pipa di balik beton tebal, menghapus resah dan mendinginkan jiwa yang gundah.

Aku adalah jiwa kosong tanpa ada kehidupan, bila Tuhan tak berkehendak atasku. Aku sadar dalam sujud yang tenang, aku menemukan rumah untuk pulang. Inilah rumahku, tempatku meruah tumpahkan harapan dan impian. 

Aku berbalik badan, sosok rambut gondrong di sudut menarik perhatian, dengan kain sarung dan kemeja flanel ia sedang duduk bersila. Mulutnya sedang mengucap sesuatu dan jelas aku tahu jika itu adalah zikir dan shalawat rindu. 

Tatapanku mengikat tajam dan waktu menahannya beberapa saat. Tidak, tidak mungkin yang duduk bersila itu ayah. Pastinya ayah sudah beruban dan tua. 

Aku bangun dari dudukku, keluar dari masjid dan melihat keindahan yang belum pernah kulihat. Aku rindu dengan rumah, kemanakah aku harus pulang. Aku buka lagi buku catatan ibu, setidaknya ada penawar rindu yang mengikat di dalamnya.

Pada sampul buku ada resleting, aku membukanya. Terselip sepotong amplop putih bertuliskan Pala Kusuma. Timbul keingintahuanku apa isi dari amplop itu.

"Seperti Hati, Begitulah Cinta"

Kepada Istriku
Cinta, di atas rumput hijau kita duduk berdua
Menikmati suaramu, aku tak berdaya
Di pertengahan sawah engkau datang menyapa
Untuk menghabiskan masa sekedar bercerita

Banyak waktu mengisi relung jiwa
Tangis & tawa menemani asa
Mendengar suaramu membuatku bahagia
Menghapus air matamu adalah cinta

Di ujung cahaya kita menatap kepergiannya
Saat bukit-bukit kecil menelannya
Seperti hati begitulah cinta
Saat muncul kembali bintang kejora

Aku teringat tentang dirimu
Kau ajarkan aku mengenal rasa
Berdebar menyesakkan dada
Menggetarkan jiwa rapuh nan lara
Hingga aku mengerti kala ketulusan itu selalu ada...
Pala Kusuma, 29 Desember 2000

 

"Randa Tapak"

Teruntuk Anakku
Bergelut menukik daratan tinggi
Dilahap sang angin yang tak berempati
Melayang-layang hilang kendali

Terhapus masa terkubur mati

Keluar masuk kolong angin
Induknya menangis batangnya mengemis
Bukan sebab hujan turun gerimis
Bukan pula debu bangun merintis

Hanya alam diam tak menggubris
Membiarkannya luntang-lantung mengais
Mencari tanah naungan berlapis
Semak belukar peluknya manis

Bersembunyi ia berbalut sunyi
Berharap rumah tanah dirindui
Tanpa peduli pada gelap malam yang hujat pagi
Penantiannya tetaplah dapat kembali...
Pala Kusuma, 29 Desember 2000


Aku tidak mengerti pada tulisan yang ditulis ayah, terutama tentang Randa Tapak. Apakah ini ada hubungannya dengan namaku?. Mengapa aku diberi nama Randa Tapak. Semakin aku tenggelam pada misteri ini. Aku lihat kembali buku catatan ibu, kutemukan sepotong surat lagi yang tidak beramplop.

Ada sepenggal tulisan, aku hafal betul dengan bentuk tulisan itu. Tulisan ibu, mengapa ibu menyelipkannya kedalam sampul buku dan kenapa ini semacam rahasia untukku.


Teruntuk Anakku
Randa,

Kelak jika engkau sudah besar nanti, Ibu akan memberitahukan semua ini kepadamu. Surat yang kamu baca tadi adalah surat terakhir dari ayahmu ketika ia kembali ke Banda Aceh. Ia mengirimkan ibu surat itu dan setelahnya, bertahun-tahun lamanya ayahmu lenyap tanpa kabar. 

Ibu tidak tahu ayahmu kemana dan mengapa ia hilang dan tidak pernah kembali. Ibu jatuh sakit memikirkan tentang ayahmu. Ibu menulis surat ini untukmu. Ibu juga mengatakan pada kakekmu, jika nanti ibu telah menghembuskan nafas terakhir dan Randa sudah besar. Ibu meminta kepada kekekmu untuk menyerahkan surat ini.
Ibu sangat menyayangimu.
Lembah Telaga Mane, 11 November 2004

 

Air mata yang deras kembali membasahi wajahku, adakah hidup demikian peliknya untukku. Seseorang memelukku, sangat erat dan hangatnya pelukan itu serasa menepis rinduku. Sabar, itu kata yang kudengar. Suaranya serak basah dan dia masih memelukku. 

Aku tenang dalam pelukan itu, saat kulihat ternyata ia adalah sosok laki-laki berambut gondrong yang kuperhatikan usai shalatku. Kenapa kau menangis sampai seperti ini?, tanyanya. Aku biarkan ia membaca surat dari ibu dan kukatakan kepadanya, aku hidup seorang diri dan tidak ada satupun keluargaku di dunia ini. 

Tenanglah Allah tidak menguji hambaNya melebihi kemampuannya, ia berkata dengan matanya yang ikut berlinang memperhatikanku. Aku tidak paham bagaimana peluhnya hidupmu tapi aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Saat ini aku hanya punya seorang ibu, saat ayah kembali kepada Sang Khalik.

Kau tinggal dimana?. Aku datang dari Lembah Telaga Mane, tadi pagi aku tinggalkan tanah kematian itu. Dimana itu?, aku tidak pernah mendengarnya. Sebuah lembah yang cukup jauh dari tempat ini, jawabku. Ikutlah denganku, kita bermalam di tempatku. Bergegasku mengikuti langkah kaki santun itu.

<<< Halaman 1                       Lanjut Baca KLIK >>> Halaman 4


(Catatan Penting)

Filosofi Randa Tapak merupakan Novel Karya Muraz Riksi yang terdiri dari 2 bagian diantaranya "Bagian 1 Lembah Telaga Mane dan Bagian 2 Negeri Antara".

Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.

Profil singkat penulis :
- Instagram Muraz Riksi
- Youtube Indie Official Poem Muraz Riksi

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment