Cerbung Filosofi Randa Tapak "Tanah Hitam" Halaman 5 Karya Muraz Riksi
HALAMAN 5
BAB TAPAK III
Tanah Hitam
Untuk sebuah
pagi yang indah, aku terbangun di tempat yang belum pernah ada dalam benak
pikiranku. Membayangkan saja kehidupan baru tidaklah ada dalam hati
kecilku. Kuperhatikan rak-rak buku, ada begitu banyak buku tersusun rapi di
tempatnya bang Dian.
Di sebelahnya kulihat mading kaca dengan tulisan-tulisan berserakan
tertempel dengan indah. Pikirku, apa yang dilakukan oleh orang-orang di tempat
ini?. Betapa banyak asa tertulis di dalamnya, ada tentang kritikan dan juga
tentang asa kehidupan. Aku biarkan dua bola mataku menjarah ruang putih bersemaikan
tinta-tinta kata itu, menyisir perlahan kalimat demi kalimat yang terseduh di
dalamnya.
Gagal Paham Dengan Caramu Tuan
Seniman Bisu
Kau suruh aku percaya tapi sikap dan
caramu adalah kebohongan. Kau suruh aku berpikir tapi tingkahmu amat memuakkan.
Sungguh malam ini telah tepat kusadari bahwa kamu sedang mempermainkanku dengan
caramu tuan. Aku sedang berjalan mengarah pada tujuan, lalu kau hadang dan
pura-pura tawarkan kebaikan. Awalnya kuanggap niatmu baik tapi perlahan ia
terlihat buruk.
Begitu anehnya hidangan makan malam yang kau tawarkan. Semuanya
bahan mentah yang belum siap untuk dimakan. Aku bukan seekor sapi yang dicekoki
hidung lalu kau tarik kesana kemari sesuka hati. Aku adalah manusia merdeka
dengan pikiran sendiri. Tak ayalnya budimu telah ku bayar dengan secangkir kopi
dan amat kusesali kau tak paham akan pahitnya dunia ini.
Kau bergerutu tapi kau
tak sadari aku tidak peduli lagi. Cukup di tempat ini aku pernah dihina lalu
dicaci maki tapi camkan baik-baik, aku seorang manusia yang telah merdeka dan
jalan hidupku bukan panggung sandiwaramu lagi. Sudah cukup aku kau bodohi dan
sekarang aku telah bangkit untuk berjalan menuju langkah hidup yang lebih baik
lagi, sebagai seorang manusia yang punya hati nurani.
Pelataran Jalan, 12 Februari 2018
Menyibak Omongan Berbau Pahit
Seniman Bisu
Seuntai kisah dan segenggam kasih.
Akan kuceritakan lewat sajak pilu. Bukan bersebab pada tulisan cinta namun
kemerahannya adalah ketulusan kasih dari sepiring kisah dengan semangkuk senyum
yang indah.
Ketahuilah, nikmatnya kopi di tangan peraciknya. Kopi boleh sama
hitam tapi cara seduh yang berbeda akan melahirkan rasa yang berbeda pula.
Layaknya cinta, aku dan mereka memiliki cara yang beda. Kopi hitamku pahit
tanpa ada pemanis dan kopi pahit tulus memberikan rasa manisnya.
Tidak
percaya?, coba seruput ia pelan-pelan maka diakhirnya akan terasa manis.
Ketimbang ditambah pemanis namun sepahnya terasa pahit. Bumi ini luas dan dunia
ini indah. Terlalu pelik hidup kita jika dihabiskan untuk menggubris kalimat
sindiran. Jika anggapan mereka aku seorang yang telah berubah, maka itu benar.
Aku memang telah berubah, waktu luangku tidak lagi banyak untuk dihabiskan
sekedar duduk bercerita. Aku punya tanggung jawab besar atas masa depanku. Aku
tidak khawatir akan hal itu, aku juga tidak risau. Aku tidak akan mengotori
hati dengan keburukan. Aku juga tidak dihisab oleh prasangka buruk manusia.
Sindirlah aku sepuas hatimu dan percayalah aku tidak pernah terluka akan hal
itu. Aku memaafkan semua yang berlaku dan aku terima persembahan harimaumu. Tak
ada artinya bermusuhan, takkan membawa pada kebaikan. Ingat, kita semua manusia
maka sadarilah kita semua sama. Terima kasih banyak untuk semua masa lalu.
Pelataran Jalan, 24 Mei 2018
Menyibak Aksara
Bulan Merah
Seniman Bisu
Nikmat serasa menyengat, khawatirkan resah dalam dekapan air ludah. Pahit,
terbangun dari alam mimpi yang mengajakku berkelahi dengan penguasa dunia penuh
misteri. Aku terpental jauh, bangunku dengan menopang pada lutut yang berdarah.
Aku takkan kalah, semestinya ini adalah pertarunganku dengan mereka.
Makhluk
berdarah yang tak memiliki hati dan resah. Aku harus bangkit dan semesta telah
bersamaku, melewati pikiran buntu yang menyerang kelemahan nurani. Nafsu
berseruput dengan hawa hitam, aku belum kalah dan semangatku terus membara,
membakar lelah dari kemunafikan dunia. Itulah sepotong mimpi yang datang
berziarah kepada malamku.
Aku duduk di bangku sudut jalan, menikmati aura senja pelataran. Lalu
lalang binatang besi dari yang berkaki dua sampai pula yang berkaki empat. Dari
yang merayap hingga berdiri di persimpangan meratap. Menunjukkan asa yang
menetes karena kegagalan hidup yang dibasahi air mata redup.
Kucoba tatap
langit, ada kelam yang menghujam, ada hitam yang menunggu malam. Kiraku adalah
gerimis, rupanya itu hanya senandung pilu alam. Aku sadar, kekuatan terhebat
yang tertanam dalam diri adalah semangat. Lalu harapan yang menjadi peluru
untuk menembus dinding semu, melubangi resah hingga cahaya menerangi
hati yang gundah.
Jangan melihat langit tapi lihatlah tanah, disebabkan tanah mampu
menembuskan waktu. Ada dunia dibalik dunia dan ada yang hidup dibalik yang mati. Ketahuilah semua yang terjadi tidak lepas dari Kun Fayakun-NYA. Hidup adalah
mencari ridha bukan menambah dosa dan ingatlah kita tak ada kuasa untuk
menghakimi sesama manusia. Jangan hanya melihat bercak noda di baju orang tapi
perhatikan juga bercak noda di bajumu sendiri.
Pelataran Jalan, 27 Agustus 2018
Menyibak Aksara Gelas Kosong
Seniman Bisu
Dalam dunia berdimensi dinding maya
sebuah ilusi camera dapat menipu mata, kanan dapat terlihat sebagai kiri dan
kiri bisa terlihat sebagai kanan. Begitu juga dengan komunikasi melalui media
chatingan, tidak sedikitpun menggambarkan ekpresi komunikatornya sehingga si
komunikan akan menerka-nerka.
Terkadang kehidupan ini amat pelik, si tukang
bicara besar vs si pendiam. Jika kita lihat si tukang bicara sudah berkoar-koar
pastinya hebat. Apalagi ditambahin retorika. Woww, semua yang dengar pasti
terbius. Sambil angguk-angguk. Luar biasa sekali. Bahkan di mata si tukang
bicara, “yang salah bisa jadi benar; yang benar bisa jadi salah”.
Sesuatu yang
buruk buat toleransi bisa di balik jadi baik. Sebaliknya, yang mengancam
persatuan bisa dianggap baik. Hebatlah si tukang bicara. Padahal, ahhh… itu semua
retorika doang, omongan doang. Sebenarnya, jadi tukang bicara itu bagus. Jika
diikuti dengan perbuatan. Apa yang diomongkan harus sama dengan yang diperbuat.
Tapi jangan jadi orang yang pandai bicara. Hanya untuk melemahkan orang lain.
Pandai bicara untuk mencela, mencaci lalu mencari salah orang lain atau
pemimpinnya. Padahal, dirinya sendiri “gagal” dalam eksekusi pikirannya
sendiri. Maka, di mata si tukang bicara. Urusan benar-salah tidak lagi jadi
ajaran. Tapi jadi “lahan” perdebatan dan retorika semata.
Pelataran Jalan, 03 Juni 2018
Jika Karena
Seniman Bisu
Bukan hakim, bukan malaikat
Jika karena, angkat kaki hapus nama
Bangkit sebagai manusia yang
manusiawi...
Pelataran Jalan, 01 Agustus 2018
Sedang Dalam
Pencitraan
Seniman Bisu
Aku sedang
berpidato
Memberikan
semangat kepada kursi-kursi kosong di ruangan aula
Tak ada satupun
manusia yang duduk di atasnya
Mereka tahu
kursi itu tidak empuk atau gengsi ternama
Aku sedang
berpidato
Mengkampanyekan
diri sebagai tokoh
Sedang dalam
pencitraan
Untuk merebut
sorotan mata dan perhatian
Pidatoku amat
panjang, hingga koar-koarku cukup menjanjikan
Mereka patut
percaya, sebab aku tak jual alasan
Tapi ku
tegaskan bahwa aku sedang dalam pencitraan
Merebut satu
kursi masa depan
Layaknya aku
digelar dengan nama dewan...
Pelataran Jalan, 03 Agustus 2018
Tentang Kopi Tentang Rindu
Seniman Bisu
Dari kopi saya belajar
tentang rasa
Ada banyak perasaan larut di dalamnya
Saat bicara tidak mampu menjelaskan rasa
Maka kopi mengerti
pahitnya asa.
Saya akan selalu tersenyum
Karena air mata pun
telah jatuh membasahi bumi
Tak perlu
menggubrisnya,
Adakah saya dikatakan
waras atau tidak
Sebab tentang hidup saya tidak terlepas dari kopi
Ketika rindu bicara
maka kopi yang melarutnya menjadi satu rasa
Tentang kopi adalah tentang
rindu
Dari rindu saya belajar
tentang setia
Ada banyak peluh hanyut olehnya
Saat doa tidak tersampaikan laksana kata
Maka sunyi malam yang
menjawabnya
Sudahlah, saya bisa tersenyum untuk beberapa waktu
dan itu sudah lebih dari cukup untuk menggantikan
rindu…
Pelataran Jalan, 11
September 2018
Tulisan-tulisan
yang membuat dua bola mataku dengan tanpa sebab menjarah ruang putih
bersemaikan tinta-tinta kata itu, menyisir perlahan kalimat demi kalimat yang
terseduh di dalamnya. Surganya kata yang terpajang pada mading tempatnya bang
Dian tinggal.
Kusadari bahuku ada yang menepuknya meski larutku dalam surga
kata itu. Tanya bang Surya, apa kau tertarik membaca?, kau suka buku?. Aku diam
beberapa saat, aku tidak mengenal buku atau tulisan yang tersemai dalam lahan
putih tak berdosa itu. Hanya ada satu buku yang pernah aku baca bang,
berulang-ulang kali aku membacanya. Buku yang ditulis tangan oleh almarhumah ayahku
dan sepotong surat dari ibuku.
Mataku
kembali banjir oleh telaga yang tumpah tak terbendung lagi. Bang Surya diam
memperhatikanku, aku mengambil buku catatan milik ibu dan jurnalnya ayah. Aku
membiarkannya membaca, aku tidak tahu bagaimana menceritakan akan peluhnya asa
hidupku.
Aku sudah hanyut dan terbawa arus telaga yang tumpah dan tak
terbendung itu. Usainya membaca, ia memelukku dan berkata lebih baik kau
kirimkan Al Fatihah untuk keluargamu, kau istirahatlah, tenangi dirimu, abang
mau keluar cari makan untuk kita.
Terbangun, tersadar dari alam luka. Bila senyum penutup luka lantaran hati dipenuhi air
mata. Untuk apa aku berpura-pura bahagia
sedang yang
lainnya menatap jendela dunia. Tapi tidak oleh mereka, perihku tak dapat kalian rasa. Sayatan pilu, guncangan asa dan derita nestapa.
Semuanya terbiaskan kecewa, tertera guratan kusut wajahku. Ketika aku sedang berpura-pura bahagia
dengan
senyum untuk menepis luka. Hadirpun hanya sekedar cerita, bukan pemeran pelipur lara. Untukku, hidup adalah secuil cahaya senja, bukan impian yang deraikan air mata.
Hidupku tidaklah
artinya mencari bahagia hanya mencari sebuah
ketenangan hidup.
“Saat
Sendiri Saat Menanti Saat Menyadari”
Saat semua beranjak pergi
Saat tak ada lagi yang peduli
Saat tak satupun yang menemani
Saat sunyi mengisi ruang dalam hati
Saat hening mencemari celah-celah nurani
Saat sel abu-abu merasuki lingkaran imajinasi
Sejenak terlupakan, sejenak terabaikan
Sendiri datang dalam rindu tanpa rasa
Sendiri datang dalam tawa tanpa suara
Sendiri datang dalam tangis tanpa air mata
Sejuta kisah melekat dalam jiwa
Sejuta cerita yang tak sempat terbaca
Sejuta mimpi bersemayam dalam sukma
Sebuah kedamaian dalam kekhusyukan
Sebuah anugrah semesta yang tak tersampaikan
Sebuah cinta agung tetap terjaga dipenghujung kehidupan...
Randa
Tapak, 06 November 2019
Satu lembar buku catatan ibu,
kutulis tentang perasaan yang aku sendiri tidak mengerti. Harapanku ini adalah
kisah hidupku yang nantinya terkubur bersama kenangan pahit yang lenyap
tertelan asa. Semestinya ini adalah tulisan kedua milikku dan seharusnya ini
juga akan menjadi awal baru untukku.
Suara langkah kaki membunyikan
lantai kayu, terasa semakin dekat hingga gemanya masuk kedalam dua lubang
telinga. Sadarku itu adalah bang Surya. Duduklah, kita sarapan dulu. Setelahnya
abang akan mengajakmu kebeberapa tempat. Anggap saja kau hari ini jadi
wisatawan dan abang adalah pemandunya.
Bang Surya tersenyum kecil atasku, tidak
pernah kulihat senyuman sesederhana itu. Tanpa ada beban, hanya ada perasaan
tenang. Sangat tenang, lebih tenang dari suasana yang memagari tempat tinggal
mereka. Tak lama kemudian bang Dian datang, di
tangannya ada sebuah buku bersampul hitam.
Randa, bacalah buku ini. Mungkin
akan sedikit membantumu. Bang Surya ikut mengatakan, kau takkan melihat
kata-kata indah ataupun syair di dalamnya tapi percayalah, buku itu akan
membantumu. Saat pertama kali abang membaca buku ini, abang kira ini hanya
kumpulan sampah kata.
Sudah ejaan yang tidak tepat, bahasanya yang sangat
hancur namun abang terjerumus dan terperangkap oleh waktu untuk terus
membacanya hingga selesai. Abang minta setelah kau membacanya sampaikan pada
kami, hal apa yang ingin kau lakukan dan apa yang akan jadi cita-citamu.
Kulihat bola mata
yang jernih itu, tak ada maksud buruk apapun. Keduanya menatapku dengan
perasaan tulus. Randa, mulai hari ini kau adalah adikku. Ya kau juga akan
menjadi adikku, sahut Bang Surya. Tempat ini adalah rumahmu dan kita satu
keluarga. Aku tidak tahu harus berkata apa, bagaimana menjawab semua rasa ini.
Kuterima buku bersampul hitam itu, tertulis judulnya Menyibak Kehidupan
Di Tanah Hitam. Ada tulisan hebat merangkai cita-cita yang tertera di
belakang sampul bukunya. “Tidaklah hidup itu satu keburukan, tidaklah Allah
membedakan kisah hidup hambaNya. Semua kita sama, Allah hanya sedang menguji
seberapa besar kesabaran dan seberapa besar rasa syukur atas nikmatNya”.
Terbuka satu jendela kesadaran atasku, timbul keinginanku
untuk menjamah lembar demi lembar tulisan dalam buku Menyibak Kehidupan Tanah
Hitam. Tak berbasa basi dengan waktu, tak kubiarkan kelemahan bersekutu dengan
hatiku. Aku percaya, ada jawaban atas hidupku di dalamnya.
<<< Halaman 1 Lanjut Baca KLIK >>> Halaman 6
(Catatan Penting)
Filosofi Randa Tapak merupakan Novel Karya Muraz Riksi yang terdiri dari 2 bagian diantaranya "Bagian 1 Lembah Telaga Mane dan Bagian 2 Negeri Antara".
Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.
Profil singkat penulis :
- Instagram Muraz Riksi
- Youtube Indie Official Poem Muraz Riksi
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi
Post a Comment