Jera Cerpen Fiksi Karya Anna Aqila - Sampah Kata

Table of Contents

 

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam kopi pahit...
Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek yang mengisahkan  tentang cinta, kehidupan, bahagia, sedih, rindu dan alam. Oleh karena itu, pada postingan ini, admin ingin membagikan contoh cerpen fiksi terbaik karya Anna Aqila yang dikutip dari Grup Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Facebook. 

Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Oleh karena itu jika para pembaca ingin tahu dan mengenal sosok penulis, silakan klik pada nama penulis yang ada di bawah judul cerpen dan akan langsung dialihkan pada medsosnya. Selamat membaca!.


JERA

“Bu, baju yang ini mahal lho” ucap seorang pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan di kotaku. 
“Nggak pa-pa mbak, soalnya saya suka model dan warnanya” jawabku memberi alasan.
“Gimana kalau yang ini bu, ini warna dan modelnya juga bagus tapi harganya ekonomis kok” katanya melanjutkan.

 Wajahnya masih memancarkan senyum manis, tapi bagiku terlihat dipaksakan. Entahlah sepertinya aku terlalu suudhon.
“Tidak mbak, terimakasih. Saya lebih suka yang ini karena bahannya adem, warna biru kesukaan saya dan modelnya juga bagus” ucapku berusaha menolak dengan halus. 

“Tapi saran saya jangan yang itu bu, yang ini saja” ucapnya kembali terlihat sedikit gusar. 
Aku tidak mengerti, mengapa baju saja harus dia yang memilihkan. 
‘Apakah semua pramuniaga diminta oleh bosnya seperti itu ya?’ aku bertanya dalam hati.
Akhirnya aku tak melayani ucapannya, aku langsung mengambil gamis yang ‘katanya’ mahal itu dan memasukkan ke keranjang belanjaanku.

Pramuniaga itu tampak memonyongkan bibirnya ke depan.
Aku tidak ambil pusing dengan yang dia lakukan, aku hanya berfikir bahwa dia sekedar menawarkan dagangannya yang mungkin belum laku.
Aku mengambil 2 gamis dan 2 jilbab kemudian meuju ke tempat penjualan sandal sepatu. 

Saat aku berjalan sambil memilih sandal, tanpa sengaja aku mendengar sebuah obrolan dari dua orang pramuniaga.
“Tadi kan kak, ada seorang ibu-ibu lagi milih gamis. Kalau dari penampilannya sih dia bukan orang berduit ya, soalnya dateng aja pakai sandal jepit. Terus dompetnya itu kayak dompet murahan gitu” dia menjeda ucapannya seraya membuang nafasnya dengan kasar.
“Mosok dia milih gamis yang digantung itu, kan gamis itu mahal harganya. Aku tunjukin yang murah eh dianya ngeyel mau ngambil gamis yang mahal itu. Ya udah aku tinggalin aja tu orang, dari pada capek-capek. Nanti udah diambilin gamis yang mahal malah nggak bisa bayar, aku juga yang repot mulangin ke tempatnya” katanya berapi-api. 

Jika didengar dari isi pembicaraannya, sepertinya orang yang dimaksud adalah aku. Karena saat aku lirik si cewek yang bercerita adalah orang yang tadi menemuiku. 
“Kamu nggak boleh seperti itu ngomongnya, bisa jadi kan dia memang sudah mempersiapkan budget untuk belanjanya. Semua konsumen itu harus kita layani dengan baik. Mau dia jadi beli atau tidak ya itu kan sudah menjadi rezeki kita. Awas nanti ketahuan bos kamu bisa dipecat!” ucap teman temannya. 
“Habis aku sebel . . .” 

“Sudah-sudah, ayo kerja lagi” temannya memotong pembicaraannya.
Aku sekarang mengerti kenapa pramuniaga tadi menolak ketika aku akan mengambil gamis yang ‘katanya’ mahal itu dan memintaku untuk mengambil gamis yang aku kurang suka model dan warnanya.
Bagiku harga itu bukan patokan untuk barang yang aku pakai. Seperti hari ini, aku memakai gamis yang harganya 150 ribu dan aku beli di pasar sedangkan alas kaki aku memakai sandal jepit yang kata orang dipakai untuk ke toilet. Biarlah yang penting aku nyaman. Untuk dompet memang aku membeli dengan harga 50 ribu rupiah saja.

Hari ini aku sengaja datang ke toko ini untuk membeli gamis yang tergantung di deretan pakian itu, aku melirik bandrolnya dan tertulis 350 ribu. 
Sebenarnya tidak mahal karena gamis ini akan aku hadiahkan untuk ibuku dan ibu mertuaku guna dipakai lebaran nanti, biar samaan. 
Aku mengambil dua gamis untuk orang yang sudah melahirkanku dan juga melahirkan suamiku. 
Jika dinilai dari rupiah, harga gamis ini tidak sepadan dengan harga kasih sayang yang sudah beliau-beliau berikan kepadaku. 

Sesaat setelah mendengar ucapan pramuniaga tadi, darahku mengalir sedikit lebih kencang menuju otak. Sepertinya aku emosi, ah semoga saja tidak. 
Akhirnya aku memutuskan untuk berbelanja di sini semua keperluan keluargaku. 

Setelah puas berbelanja, aku menuju kasir untuk membayarnya. 
“Jadi total seluruh belanja ibu lima juta tiga ratus dua puluh ribu ya bu” ucap seorang kasir yang telah menghitung belanjaanku. 
Ya aku sengaja membeli gamis 5 gamis dengan model dan warna yang sama, untuk kedua ibuku, aku dan kedua adikku. 5 kemeja warna senada untuk suami-suami kami berlima karena adikku memang sudah menikah semua. 10 pasang sandal dan beberap jilbab.
 Untuk anak-anakku memang aku tak mau membelikannya jika mereka tidak ikut serta, takut tak sesuai selera malah mubazir jadinya. 

Kasir tadi memanggil juniornya untuk membantuku membawa belanjaan karena dia melihatku kesusahan membawa barang. Aku melirik orang yang membantuku, ternyata dia adalah perempuan praminiaga yang tadi sudah menceritakan kalau aku bukan orang berduit. 

Aku sengaja memintanya memasukkan belanjaanku ke mobil pajero yang sudah terbuka di parkiran ini. Bukan bermaksud menyombongkan diri, hanya ingin memberitahu bahwa janganlah memandang orang dari penampilannya saja karena penampilan bukan cermin isi dompet. 

Dan satu lagi dibalik kelakuanku ini, aku hanya ingin mengingatkan bahwa janganlah bersifat sombong karena bisa jadi orang yang kita remehkan itu lebih mulia derajatnya di sisi Tuhannya. 
Dan semoga saja setelah kejadian ini, tidak ada lagi seorang yang meremehkan orang lain dan tetap rendah hati kepada siapapun. 
Wallahu a’lam bishowab.

***
Demikian contoh cerpen fiksi terbaik yang mengisahkan  tentang cinta, kehidupan, bahagia, sedih, rindu dan alam. Dikutip dari Grup Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Facebook.

(Catatan Penutup)

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment