Cerbung Filosofi Randa Tapak "Negeri Antara" Halaman 9 Karya Muraz Riksi

Table of Contents

 


FILOSOFI RANDA TAPAK

NOVEL MURAZ RIKSI

BAGIAN 2 NEGERI ANTARA


HALAMAN 9

Langkah perjalanan dimulai dari kaki kecil, semesta menatapnya. Ia dengan lusuh berjalan menembus rimba kehidupan. Seperti mereka yang menganggapnya kejam karena gagal dalam memilih tujuan. Lelah dan pasrah karena cita-citanya tak kunjung dapat diwujudkan.

Arahnya tak lepas dari tajamnya tatapan bahwa sebuah negeri harus dipelajari, dimengerti lalu ditulis dengan bahasa diksi. Negeri yang indah akan tinggal sejarah, hutan yang megah akan jadi sumber wabah. Tulislah setiap jejak langkah, ceritanya sang penjelajah yang menatap negeri dengan tabah.

Aku akan melangkah, menatap dengan rinci negeri yang indah dimana sejarahnya akan berubah. Antara sejarah yang dijadikan dongeng atau dongeng yang disejarahkan.

Randa Tapak itulah nama yang diberikan oleh mendiang ayahku. Meski kuburannya tak berjejak, aku percaya di atas langit namanya telah tertulis diantara ribuan bahkan jutaan manusia lainnya yang hidup sebelum kehidupanku ada.

Hari itu dengan penuh tekad aku berpamitan pada Bang Surya dan Bang Dian. Mereka dua sosok abang yang telah menjagaku selama dua tahun ini. Meski langkahku telah lepas dari langkah mereka namun hati dan doa akan tetap berjalan kearahnya.

"Bang Surya, Bang Dian, aku ingin menjelajah. Aku ingin mengenal setiap sudut negeri yang indah ini. Ada satu tempat yang membuatku harus menjelajah. Negeri Antara itulah tempatnya. Di sana ada banyak gajah yang hidup berdampingan dengan manusia tanpa pernah ada masalah.

Setelahku membaca artikel Negeri Antara dan melihat beberapa foto alamnya, jiwaku terpanggil. Seakan di sana ada sekolah kehidupan yang akan membuatku semakin tabah. Aku ingin mendedikasikan hidupku untuk negeri ini yang teramat indah."

Semestinya beberapa potong kata yang aku sampaikan sebagai pamitku dan harapanku kedepan. Bang Surya tersenyum sembari ia berkata negeri ini memang indah. Mantapkan langkah tambah Bang Dian.

Pagi itu begitu cerah, kaki-kaki yang beriringan melangkah dengan tujuan yang tidak lagi searah. Di perempatan jalan, langkahku akan sendiri seperti impian yang telah ku kantongi. Negeri Antara, aku akan di sana, akan berdiri tegak menatapmu...

Dari ujung barat pulau Sumatera, Ibu Kota Provinsi Aceh. Aku berjalan menuju arah timur, kaki yang sedang mencari tumpangan diri. Terminal, tempat mobil penumpang lalu lalang. Sebagian orang-orang sedang turun untuk pulang dan sebagiannya lagi sedang berangkat pergi.

Sama halnya sepertiku, sedang mencari tumpangan. Sangat mudah untuk seseorang bepergian, tinggal membeli tiket, membayarnya di loket dan tempat tujuan pun bisa didatangi. Tidak denganku, tatapanku adalah mobil barang di sudut jalan. Percakapanku dengan bapak supirnya pun dimulai.

Assalamualaikum Pak, saya Randa. Bolehkah saya tahu bapak hendak berangkat kemana?

Waalaikumsalam, saya Pak Isman. Rencananya mau pulang ke Takengon. Seperti biasanya, rutinitas bapak sebagai supir. Kamu hendak kemana?

Saya mau ke arah sana juga pak.
Mau ketempat saudara atau mau pulang kampung nak?
Bukan pak, saya mau jalan-jalan kesana, sambil melihat pemandangan di sana. 
Lantas kamu tinggal dimana nak, rumah orang tuamu di daerah mana?

"Rasanya luka itu kembali berdarah, sakit dan perihnya kehilangan kembali terasa. Bagaimana aku harus menjawabnya. Jika aku hanya sebatang kara. Tidak, Pak Isman tidak perlu tahu. Aku tidak ingin dikasihani karena keadaanku".

Saya sudah 2 tahun menetap di Banda Aceh Pak, di tempat abang-abangnya saya. Rencana mau ke Negeri Antara, kebetulan ada urusan di sana Pak.

Kerja maksudnya nak?
Iya pak. Ada sedikit kegiatan di sana. Jika Pak Isman berkenan, saya mau numpang di mobilnya bapak.
Tentu, bapak tidak keberatan. Kebetulan juga bapak sendiri bawa mobil ini. Jadinya bapak juga ada teman bicara. 

Aku duduk di sebelahnya Pak Isman, perjalanan pagi itu pun akan menjadi awal dari petualanganku menjemput impian dan menaklukkan kesepian. Ketakutanku hanya satu, tetap hidup dalam belenggu masa lalu tanpa berani melangkah kedepan.

Pak Isman menceritakan kesehariannya, ia bekerja sebagai supir yang membawa bubuk kopi gayo hasil olahan pabrik di sana. Katanya, biarpun penghasilan kecil hal terpenting adalah bersyukur. Bisa menafkahi keluarga dan memenuhi kebutuhan anak, itu sudah lebih dari cukup menurutnya.

Seperti halnya jalan raya yang membelah hutan belantara, ada yang menanjak, ada tikungan patah, ada pula jalan menurun ke bawah. Sepanjang penglihatanku adalah hutan selawah. Pak Isman masih bercerita tentang kesehariannya. 

Sungguh demikian rasanya jika memiliki seorang ayah, aku yang sedari kecil tanpa mengenal sosok ayah. Adanya kakek yang selalu ada menggantikan posisi ayah. Rindu, tentu aku rindu hidup dengan keluarga yang lengkap. Ada rumah untukku pulang, ada sosok ibu yang mengkhawatirkan anaknya, ada sosok kakek yang memanjakan cucunya. 

Perjalanan dari arah Banda Aceh melewati Selawah, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen hingga arah perjalanan ini pun menuju selatan, lebih kurang 5 jam.

Pak Isman membangunkanku. Nyenyak tidurmu nak?
Saat melewati Selawah rupanya kamu sudah tertidur. Bapak sadar tadi saat bertanya, kamu tidak lagi menjawab.

Maaf Pak Isman, saya tertidur dan tidak menemani bapak mengobrol selama perjalanan.
Tidak apa nak, kamu pasti lelah. Sekarang kita sudah di jalan Bireuen-Takengon, ini pun sudah pukul 13.40 WIB. Kita istirahat sebentar, shalat zuhur dan makan siang. Pukul 14.30 WIB kita lanjutkan perjalanan lagi. 

Perjalanan, sebuah proses awal mencapai titik tujuan. Laju ban itu 50 KM/jam, saling berputar dengan kecepatan yang sama, saling menjaga keseimbangan satu sama lain. Kerjasama dalam mengupayakan satu tujuan adalah pondasi dasar dalam meraih impian.

Barangkali aku yang sendiri sebenarnya tidaklah sendiri. Selalu ada orang-orang baik yang menemani. Demikian Pak Isman yang telah berbaik hati memberi tumpangan. Menuju kearah selatan dari pusat kota sebuah Kabupaten Kecil. Konon katanya pernah menjadi Ibu Kota Ketiga Indonesia.

Kabupaten Bireuen yang memiliki nama lain sebagai Kota Juang. Entahlah, sejarah apa yang tersimpan didalamnya sehingga kabupaten itu disebut sebagai Kota Juang. Tatapku dalam perjalanan adalah rumah-rumah kecil di pinggiran jalan raya Bireuen-Takengon.

Melewati jembatan besi Teupin Mane, jalannya mulai menanjak dan berliku. Ada rasa khawatir menghampiriku. Yang aku lihat hanyalah hutan sawit, luas menghampar antara ratusan hektar, mungkin juga ribuan hektar.

Terbesit dalam pikiranku, dimanakah rimba raya Negeri Antara. Kemana satwa akan tinggal dan hidup sebagaimana mestinya. Aku lihat para pekerja di perkebunan sawit, wajahnya lusuh, mungkin mereka lelah. Namun sorot matanya seakan pasrah.

Pak Isman terlihat fokus dalam menyetir atau ia sengaja membiarkanku melihat kebenaran negeri ini. Tatapku ke arah barat, ada puncak mencula menghadap langit.

Itu gunung apa Pak?
Mengapa ia terlihat sangat dekat?
"Gunong Goh, itulah namanya. Sebuah puncak yang terlihat begitu indah dari jauh. Diantaranya ada aliran Krueng Teumbo yang bermuara langsung pada Krueng Peusangan. Setiap kita melihatnya, ada aroma kabar mistis dari penduduk setempat.

Mungkin cerita itu tidak sekedar cerita, karenanya hutan di sana masih lebat. Alam dan penghuni di dalamnya menjaga dengan baik hingga satwa pun ada tempat untuk pulang, Po Meurah misalnya. Mengenai Harimau Sumatera entahlah, karena ia tidak pernah menampakkan belangnya. Alam dan kehidupan butuh keseimbangan, kita boleh memilikinya namun jangan sampai menjarah dan merusaknya", jawab Pak Isman dengan nada serius.

Raut wajahnya mengkerut, seakan bernada kecewa. Kesannya ia sedih melihat hutan sawit sepanjang jalan raya Bireuen-Takengon. Terlihat gerbang perbatasan, tertulis di atasnya "Selamat Datang Di Kabupaten Bener Meriah".

Entah perasaanku atau memang suhu udara mulai dingin. Rasanya seperti melintasi dimensi yang berbeda saat melewati gerbang perbatasan. Udaranya begitu segar, menakjubkan bisa melihat panorama alam yang sangat indah.

Sekitar 30 menit setelah melewati perbatasan, ada kemukiman penduduk dan hutan pinus. Begitu indahnya, hutan pinus itu menyelimuti alam. "Selamat datang di Negeri Antara", seru Pak Isman sembari tersenyum ke arahku. Mau bapak antarkan kemana nak?

Aku mulai bingung, raut wajahku secara tersirat mengatakan kekhawatiran. Aku akan tinggal dimana? Atau kalimat apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan sederhana Pak Isman. Dalam hening 30 detik itu, Pak Isman berkata "mampirlah dulu ke rumah bapak, menginaplah beberapa hari. Kebetulan rumah bapak juga di daerah ini".

Hanya senyuman sumringah dari wajahku mengarah pada lembutnya suara Pak Isman. Ajakannya tidak hanya menyelamatkanku tapi juga memberi waktu untukku survive di negeri sendiri...


"BANGKITLAH"

Bangkitlah,,,

Tidak ada alasan untukmu menyerah

Biarlah kaki bersimpah darah

Tetap langkahkan asamu menuju puncak

 

Jangan menyerah, kau tidak hidup untuk pasrah

Tanganmu akan lebih kuat

Kakimu akan lebih cepat

Semangatmu lebih deras dari hujan lebat

 

Karena impianmu tidaklah sebatas kata

Citamu tidak berakhir di atas meja

Hidup adalah mendaki

Apapun yang menghalangimu meraih mimpi

Hidup adalah mencari

Sesuatu yang membuatmu memahami

 

Karena hidup adalah milikmu

Bukan milik pencaci yang bebas menghakimi

Yang berspekulasi seakan benar diri

Lalu lupa bahwa hidupnya

Tidak lebih dari basa-basi

 

Bangkitlah,,,

Karena kita, hidup dengan jati diri...

Negeri Antara, 22 Januari 2020

 

Usai kalimat singkat tertulis dalam buku catatan sebagai simbol dari hari pertamaku di Negeri Antara. Petang ini di rumah kayu, di teras belakang rumah yang menghadap langsung pada jurang bukit. Matahari senja sedang tersenyum dengan cahaya jingganya yang seakan juga menopang asaku.

<<< Halaman 1                       Lanjut Baca KLIK >>> Halaman 10


(Catatan Penting)

Filosofi Randa Tapak merupakan Novel Karya Muraz Riksi yang terdiri dari 2 bagian diantaranya "Bagian 1 Lembah Telaga Mane dan Bagian 2 Negeri Antara".

Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.

Profil singkat penulis :
- Instagram Muraz Riksi

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment