Kumpulan Puisi Kritik Sosial "Jika Karena" Karya Muraz Riksi Seniman Bisu
"ADA
APA DENGAN KEGELISAHAN INI?"
Karya Muraz Riksi
Aku mulai
menulisnya, lagi dan lagi
Tentang hati
yang memaksa mimpi
Mencerna
semua kata, lagi dan lagi
Tentang
impian yang seakan mati
Ada apa
dengan kegelisahan ini?
Saat yang ku
genggam hilang pergi
Bukan
cercaan atau cacian
Melainkan
kesendirian dalam penantian
Siapa?
Yang ku
nanti adalah secuil diksi
Dari
jari-jemari pengikat narasi
Bukan mereka
ahli pembual janji...
Jangka, 30
Januari 2018
"GAGAL
PAHAM DENGAN CARAMU TUAN"
Karya Muraz Riksi
Kau suruh
aku percaya tapi sikap dan caramu adalah kebohongan. Kau suruh aku berpikir
tapi tingkahmu amat memuakkan. Sungguh malam ini telah tepat kusadari bahwa
kamu sedang mempermainkanku dengan caramu tuan. Aku sedang berjalan mengarah
pada tujuan, lalu kau hadang dan pura-pura tawarkan kebaikan. Awalnya kuanggap
niatmu baik tapi perlahan ia terlihat buruk. Begitu anehnya hidangan makan
malam yang kau tawarkan. Semuanya bahan mentah yang belum siap untuk dimakan.
Aku bukan seekor sapi yang dicekoki hidung lalu kau tarik kesana kemari sesuka
hati. Aku adalah manusia merdeka dengan pikiran sendiri. Tak ayalnya budimu
telah ku bayar dengan secangkir kopi dan amat kusesali kau tak paham akan
pahitnya dunia ini. Kau bergerutu tapi kau tak sadari aku tidak peduli lagi.
Cukup di tempat ini aku pernah dihina lalu dicaci maki tapi camkan baik-baik,
aku seorang manusia yang telah merdeka dan jalan hidupku bukan panggung
sandiwaramu lagi. Sudah cukup aku kau bodohi dan sekarang aku telah bangkit
untuk berjalan menuju langkah hidup yang lebih baik lagi, sebagai seorang
manusia yang punya hati nurani.
Pelataran
Jalan, 12 Februari 2018
"SEDANG
DALAM PENCITRAAN"
Karya Muraz Riksi
Aku sedang
berpidato
Memberikan
semangat kepada kursi-kursi kosong di ruangan aula
Tak ada
satupun manusia yang duduk di atasnya
Mereka tahu
kursi itu tidak empuk atau gengsi ternama
Aku sedang
berpidato
Mengkampanyekan
diri sebagai tokoh
Sedang dalam
pencitraan
Untuk
merebut sorotan mata dan perhatian
Pidatoku
amat panjang, hingga koar-koarku cukup menjanjikan
Mereka patut
percaya, sebab aku tak jual alasan
Tapi ku tegaskan
bahwa aku sedang dalam pencitraan
Merebut satu
kursi masa depan
Layaknya aku
digelar dengan nama dewan...
Pelataran
Jalan, 03 Agustus 2018
"JIKA
KARENA"
Karya Muraz Riksi
Bukan hakim,
bukan malaikat
Jika karena,
angkat kaki hapus nama
Bangkit
sebagai manusia yang manusiawi...
Pelataran
Jalan, 01 Agustus 2018
"MENYIBAK
OMONGAN BERBAU PAHIT"
Karya Muraz Riksi
Seuntai
kisah dan segenggam kasih. Akan kuceritakan lewat sajak pilu. Bukan bersebab
pada tulisan cinta namun kemerahannya adalah ketulusan kasih dari sepiring
kisah dengan semangkuk senyum yang indah. Ketahuilah, nikmatnya kopi di tangan
peraciknya. Kopi boleh sama hitam tapi cara seduh yang berbeda akan melahirkan
rasa yang berbeda pula. Layaknya cinta, aku dan mereka memiliki cara yang beda.
Kopi hitamku pahit tanpa ada pemanis dan kopi pahit tulus memberikan rasa
manisnya. Tidak percaya?, coba seruput ia pelan-pelan maka diakhirnya akan
terasa manis. Ketimbang ditambah pemanis namun sepahnya terasa pahit. Bumi ini
luas dan dunia ini indah. Terlalu pelik hidup kita jika dihabiskan untuk
menggubris kalimat sindiran. Jika anggapan mereka aku seorang yang telah
berubah, maka itu benar. Aku memang telah berubah, waktu luangku tidak lagi
banyak untuk dihabiskan sekedar duduk bercerita. Aku punya tanggung jawab besar
atas masa depanku. Aku tidak khawatir akan hal itu, aku juga tidak risau. Aku
tidak akan mengotori hati dengan keburukan. Aku juga tidak dihisab oleh
prasangka buruk manusia. Sindirlah aku sepuas hatimu dan percayalah aku tidak
pernah terluka akan hal itu. Aku memaafkan semua yang berlaku dan aku terima
persembahan harimaumu. Tak ada artinya bermusuhan, takkan membawa pada
kebaikan. Ingat, kita semua manusia maka sadarilah kita semua sama. Terima
kasih banyak untuk semua masa lalu.
Pelataran
Jalan, 24 Mei 2018
"MENYIBAK
AKSARA BULAN MERAH"
Karya Muraz Riksi
Nikmat
serasa menyengat, khawatirkan resah dalam dekapan air ludah. Pahit, terbangun
dari alam mimpi yang mengajakku berkelahi dengan penguasa dunia penuh misteri.
Aku terpental jauh, bangunku dengan menopang pada lutut yang berdarah. Aku
takkan kalah, semestinya ini adalah pertarunganku dengan mereka. Makhluk
berdarah yang tak memiliki hati dan resah. Aku harus bangkit dan semesta telah
bersamaku, melewati pikiran buntu yang menyerang kelemahan nurani. Nafsu
berseruput dengan hawa hitam, aku belum kalah dan semangatku terus membara,
membakar lelah dari kemunafikan dunia. Itulah sepotong mimpi yang datang
berziarah kepada malamku.
Aku duduk di
bangku sudut jalan, menikmati aura senja pelataran. Lalu lalang binatang besi
dari yang berkaki dua sampai pula yang berkaki empat. Dari yang merayap hingga
berdiri di persimpangan meratap. Menunjukkan asa yang menetes karena kegagalan
hidup yang dibasahi air mata redup. Kucoba tatap langit, ada kelam yang
menghujam, ada hitam yang menunggu malam. Kiraku adalah gerimis, rupanya itu
hanya senandung pilu alam. Aku sadar, kekuatan terhebat yang tertanam dalam
diri adalah semangat. Lalu harapan yang menjadi peluru untuk menembus dinding semu,
melubangi resah hingga cahaya menerangi hati yang gundah.
Jangan
melihat langit tapi lihatlah tanah, disebabkan tanah mampu menembuskan waktu.
Ada dunia dibalik dunia dan ada yang hidup dibalik yang mati. Ketahuilah semua
yang terjadi tidak lepas dari Kun Fayakun-NYA. Hidup adalah mencari ridha bukan
menambah dosa dan ingatlah kita tak ada kuasa untuk menghakimi sesama manusia.
Jangan hanya melihat bercak noda di baju orang tapi perhatikan juga bercak noda
di bajumu sendiri.
Pelataran
Jalan, 27 Agustus 2018
"MENYIBAK
AKSARA GELAS KOSONG"
Karya Muraz Riksi
Dalam dunia
berdimensi dinding maya sebuah ilusi camera dapat menipu mata, kanan dapat
terlihat sebagai kiri dan kiri bisa terlihat sebagai kanan. Begitu juga dengan
komunikasi melalui media chatingan, tidak sedikitpun menggambarkan ekpresi
komunikatornya sehingga si komunikan akan menerka-nerka. Terkadang kehidupan
ini amat pelik, si tukang bicara besar vs si pendiam. Jika kita lihat si tukang
bicara sudah berkoar-koar pastinya hebat. Apalagi ditambahin retorika. Woww,
semua yang dengar pasti terbius. Sambil angguk-angguk. Luar biasa sekali.
Bahkan di mata si tukang bicara, “yang salah bisa jadi benar; yang benar bisa
jadi salah”. Sesuatu yang buruk buat toleransi bisa di balik jadi baik.
Sebaliknya, yang mengancam persatuan bisa dianggap baik. Hebatlah si tukang
bicara. Padahal, ahhh… itu semua retorika doang, omongan doang. Sebenarnya,
jadi tukang bicara itu bagus. Jika diikuti dengan perbuatan. Apa yang
diomongkan harus sama dengan yang diperbuat. Tapi jangan jadi orang yang pandai
bicara. Hanya untuk melemahkan orang lain. Pandai bicara untuk mencela, mencaci
lalu mencari salah orang lain atau pemimpinnya. Padahal, dirinya sendiri
“gagal” dalam eksekusi pikirannya sendiri. Maka, di mata si tukang bicara.
Urusan benar-salah tidak lagi jadi ajaran. Tapi jadi “lahan” perdebatan dan
retorika semata.
Pelataran
Jalan, 03 Juni 2018
***
Demikian puisi karya Muraz Riksi yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Sampah Kata Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi
Post a Comment