Inikah Rasanya dan Menghapus Sketsa Cerpen Karya Riska Fauza
Menghapus
Sketsa Puisi Karya Riska Fauza
Bait
sederhana sebagai pesanmu tak lagi biasa
Bait
sederhana sebagai pesanmu mulai berkuasa
Menguasai
waktu dan mulai berani mengabaikan masa
Kita tidak
pernah sadar, sejak kapan ini mulai menjadi asa
Kita tidak benar-benar paham terhadap apa yang mulai tumbuh sebagai rasa
Kita
tersesat
Tersesat
diantara kata demi kata
Menjadikannya
sebagai potongan puzzle yang jumlahnya entah berapa juta
Kita seperti
memaksakan sebuah cerita
Kita
terjebak
Terjebak
oleh bait-bait yang sengaja kita tata
Lalu kita bisa apa?
Berlari
seakan ingin melupakan
Berlari
seakan ingin menghentikan
Kita sedang
mengakhiri cerita yang belum pernah tercipta
Sadarlah, mungkin
benar. Ini cinta?
Banda Aceh,
September 2014
Inikah
Rasanya? Cerpen Karya
Ketika cinta hadir menghiasi sudut ruang hati, berhentilah untuk takut dan akhiri pertanyaan ‘bagaimana, bagaimana, dan bagaimana’.
Ketika rindu menghujam kalbu,
berhentilah berburuk sangka dan memvonis segalanya takkan mungkin terjadi.
Ketika cinta dan rindu bermain dalam lingkar hubungan jarak jauh, patri
keyakinan dalam batin. Semua ‘kan indah pada waktunya.
---
“Ah,
cukuplah kamu membela temanmu itu. Kalian tidak mengenalku dan sama, aku juga
tidak mengenal kalian.”
“Jangan
menebar benih-benih kemunafikan dalam dirimu itu Za.”
“Sudahlah,
aku tidak ingin membicarakan ini lagi.”
“Jangan
pernah menyesal jika suatu saat dia tidak ada lagi untuk kamu.”
Keributan
sejak lima belas menit lalu melalui pesawat telepon terputus, seketika suasana
menjadi sunyi. Terdengar detak jarum jam di sudut kamarku.
“Oh, apa
yang harus aku lakukan?” sesalku merebahkan diri ke atas ranjang berbalut
seprai warna kuning.
Kucoba
menutup mata dan membayangkan terlalu jauh perasaan ini padanya. Terasa
butiran-butiran air telah membasahi pipi, tak kuasa kumenahan isak. Segumpal
kesal menyesakkan dada dan membuat satu tarikan napas begitu berat bagiku.
“Kurasa
detik inilah akhir penantianku.”
---
“Udah masuk
pesan multimediaku?” sederet kata menari dalam tampilan pesan telepon
genggamku.
“Belum.
Mungkin sebentar lagi, memang kamu ngirim foto apa Ran?” Balasku sore itu.
“Lihat saja
nanti, kalau sudah masuk kabari ya Bodohku.”
Senyum
selalu menjadi pembuka ekspresi dalam hari-hari bersamanya, Gilaku. Detik demi
detik berlalu terlalu lambat bagiku saat itu,
“Lama sekali
fotonya masuk.” Kataku membatin.
“ha ha ha
fotonya sudah masuk, vespa siapa itu? Dekil sekali kamu.” Ujarku melalui
telepon sejenak setelah HP berdering menandakan MMS masuk.
“Jangan
menghina terus Za, itu vespaku. Tapi sudah jadi mantan.”
“Mantan
vespa? Ada-ada saja kamu.”
“Benar lo,
kapan aku pernah bohong? Itu mantan vespaku, besok sudah diambil sama yang
punya.”
“Kamu jual
Ran? Kenapa? Tapi katanya kamu sayang sekali sama vespa rongsokan itu.” Balasku
menahan gelak tawa.
“Ah kamu
selalu begitu, menghina aku dan sekarang juga menghina vespaku.”
“Jangan
marah, coba cerita kenapa kamu menjualnya?”
“Aku mau
beli vespa baru Za, vespa yang lebih baik dari pada ini. Yang bukan rongsokan
supaya kamu jadi lebih yakin kalau aku pasti sampai ke sana.” Jawab Ran
antusias.
“Kamu yakin
sekali akan ke sini, aku jadi semakin ragu.” Balasku memelas. “Ah, sudahlah
jangan dibahas itu.” Lanjutku.
“Pokoknya
kamu tunggu aku di sana. Jaga diri baik-baik ya, jangan nakal.”
“Iya, ya
sudah matikan dulu telponnya. Sudah mau magrib, mandi sana. Kita sholat.”
“Sip Ummi ha
ha ha Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam.”
Tidak akan
ada yang mampu menjawab, “kapan pertemuan kami berlangsung? Episode keberapa
dalam hidup? Atau hingga tamat pementasan ini takkan pernah ada adegan
pertemuan itu?” entahlah.
“Za, ntar
selesai sholat isya aku telpon ya. Kangen.” Kembali pesannya mengambil posisi
di inboxku.
Membaca itu,
aku hanya tersenyum.
“Siapa yang
SMS? Ran? Jangan bodoh kamu, mau sampai kapan terus berkhayal? Kamu belum kenal
dia kan? Lewat SMS, telepon, dunia maya apapun orang bisa saja bertopeng. Setan
juga bisa tampil sebagai malaikat.” Cerocos Mella di balik selimutnya.
Sahabatku,
Mella tidak pernah yakin akan pertemuan kami. Sungguh aku tak memiliki satu
dukunganpun tuk memupuk harapan ini.
“Kita lihat
nanti saja ya.” Balasku singkat sambil berlalu meninggalkan perempuan dengan
selimut pinknya.
“Assalamu’alaikum.”
Suaranya terdengar dari seberang HP odong-odong kuningku.
“Wa’alaikum
salam.”
“Za, lagi
ngapain?”
“Lagi
ngobrol sama kamu lah tempang.”
“Loh? Kenapa
bahas tempang lagi? Kepalaku kan tempangnya bacut, jangan jadi bahan hinaan
kamu dong Za.”
“Ha ha ha
maaf lah.”
“Besok
pengumuman tahap kedua, doain aku ya. Kamu juga pengen ketemu aku kan Za?”
“Iya,
InsyaAllah pasti didoain. Kamunya juga jangan lupa berdoa dan usaha.”
“He’eh.
Akuuu ...” suara Ran mulai tersendat.
“Cukup.
Jangan dilanjutin.” Ujarku memotong. “Kita sudah janji untuk tidak membahas itu
kan? Fokus ke masa depan dulu, urusan itu tidak lama.”
“Iya.” Balas
laki-laki yang akrab kupanggil Gila itu.
Detik demi detik terus kami habiskan bersama seakan tak ada selapis debupun menghalangi. Menjaga janji tuk terus menjaga hati sudah komitmen antara aku dan dia.
Urusan
hati cukup hati dan Rabb yang tahu, kamu tidak perlu ungkapkan kepadaku dan
begitu pula sebaliknya. Biarkan pikiran ini fokus akan masa depan.
***
“Gagal.”
“Maksud
kamu?” hati ini sungguh bergetar, jiwa seakan digoncang. Luapan air mata
seperti air bah yang tak mampu dibendung lagi.
“Ran, balas
pesanku.”
“Aku mencoba
mengerti perasaanmu. Tapi kamu harus janji untuk tidak boleh menyerah, jangan
kembali masuk ke dunia gelapmu. Aku ada buat kamu.” Kembali kukirim sederet
kata pada nomor atas nama Gilaku di phonebooks.
“Kenapa murung? Si kepala tempangnya kamu ngga lulus polisi? Ha ha ha sabar saja ya Za, mungkin ini teguran atas mimpi kalian yang terlalu jauh. Atau juga ini pertanda untuk kamu supaya berhenti berharap.
Masa kamu percaya dia masuk polisi dan
ditugaskan ke sini, lalu bertemu kamu. Hello, tidak semudah itu kawan.” Mella
kembali menurunkan kadar semangatku.
“Mel, tolong jangan seperti itu. Aku, Ran, maupun kamu masih terlalu dini untuk berpikir soal perjuangan cinta. Saat ini Ran hanya fokus sama perjuangan hidupnya, dia juga punya cita-cita.
Mel, tidak ada yang membedakan antara kamu dan Ran.
Kalian sama, punya mimpi. Dan kamu tahu? Mimpi Ran bukan hanya bertemu cewek di
ujung Sumatera ini, jadi tolong kamu jangan menertawakan kesedihannya, jika
kamu tidak suka sama harapan pertemuan kami, it’s oke kamu tidak perlu
mendukung dan kamu juga tidak perlu menyumpahinya untuk gagal dalam segala tes
yang dia ikuti.” Cercahku panjang.
Sampai detik
ini, dukunganku atasnya tulus untuk mendukung. Bukan karena harapku tuk
bertemunya. Toh, jika Allah menghendaki tanpa berseragam resmi kami juga pasti
bertemu.
Dua belas
jam setelah SMS “gagal” masuk darinya terasa sangat sepi. Dia belum memberi
kabar lanjutan. Kembali kuraih telepon genggamku dan mencoba menghubunginya.
“Ran, bagaimana keadaanmu? Maaf ya jika SMSku hanya mengganggu, tapi kamu ingat engga sama perbedaan antara laki-laki bersendal jepit sepertimu dengan laki-laki bersepatu necis?
Kamu yang bilang kan, kalau hidupnya laki-laki bersendal jepit lebih gampang dan tidak pernah menyerah.
Dulu kamu bilang, kalau sepatu injak kotoran sapi pasti sepatu itu akan berhenti berjalan sedangkan sendal jepit injak kotoran sapi, ia hanya digosok-gosokkan ke rumput lalu jalan lagi.
Begitu
kan? Kuharap kamu tidak lupa dengan itu, tidak lupa bahwa harapanku atasmu juga
karena kamu laki-laki bersendal jepit. Garing ya? Tapi begitulah.” Pesanku
panjang meramaikan inboxnya.
Oh God, saat
ini kekacauan menghujam pikiranku. Aku benar-benar bingung harus bagaimana,
sejenak aku terdiam ketika pandangan ini terpaku pada sebuah nomor di ponselku.
“Aku telepon dia saja.” Pikirku membatin.
“Halo, apa
kamu sibuk?”
“Tidak, ada
apa Za?”
“Aku hanya
ingin berpesan, kalau Ran sudah pulang tolong kamu hibur ya.”
“Kenapa
harus dihibur? Dia tidak lulus?”
“Aku tidak
tahu soal pengumuman itu, hanya saja aku punya perasaan tidak enak.” Balasku
dengan berbohong, aku tidak pernah mampu mengabari mereka tentang hal buruk
darinya, biarkan mereka tahu langsung dari Ran.
“Iya, pasti.
Za, kamu suka sama Ran ya?”
“Ah, tidak.
Kamu jangan bertanya yang tidak-tidak. Kamu tahu kan kalau aku paling tidak
senang dengan pembahasan begituan.” Jawabku kacau.
“Kamu jangan
berbohong, Za. Terlihat banget dari cara kamu memperlakukannya.”
“Sudahlah,
tidak ada yang perlu dibahas mengenai itu.”
“Za, kamu
ceritakan padanya setiap kita berkomunikasi. Dia sangat cemburuan, akan sangat
tidak baik jika dia tahu kamu berkomunikasi dengan laki-laki lain bukan dari
laporanmu.”
“Kamu
terlalu berlebihan, kami tidak ada hubungan apa-apa. Kenapa mesti melapor? Ha
ha ha aneh kamu. Ya sudah, jangan lupa hibur dia. Terima kasih ya,
Assalamu’alaikum.”
Kuputuskan
telepon tanpa menunggu jawaban salam darinya, Budi.
***
“Za,
bagaimana cara masak nasi? Ibu sudah pergi, aku lapar dan tidak ada lauk di
rumah.”
“Kamu mau
masak dengan bumbu apa? Racik sendiri atau yang instan?” balasku melalui pesan
singkat.
“Instan
saja.”
“Oh, kalau
begitu sangat mudah. Kamu baca saja di balik kemasannya.”
“Oke, tapi
tidak jadi Za. Aku masak mie saja.”
“Kenapa
begitu? Tapi terserah kamu lah.”
“Nanti aku
kirim fotonya ya, biar kamu bisa lihat bagaimana masakanku.”
“Iya.”
Balasku mengakhiri SMSan sore itu.
Hari-hari kami dipenuhi dengan mengirim-menerima MMS, pesan berisikan gambar diri mengenai apa yang dilakukan. Melalui gambar kami selalu merasa bersama.
Kadang
inilah bukti ke-abstrak-an perasaan, aku tidak pernah mampu memahami apa yang
dilukiskan rasa di sudut hati ini. Aku juga tidak mampu menafsirkan apa yang
aku pikirkan tentang rasa.
***
Bagaimana
kubisa berpaling darimu,
Sekian lama
kumencari separuh jiwaku,
Kumau
menunggu tak pernah berhenti,
Sampai suatu
saat nanti kau kan menyadari.
Sebait ucap
yang terus dilontar ketika keraguan kembali menyelimuti rasa.
***
“Kamu yang bernama Za? Kamu yang sekarang sedang dekat dengan Ran? Kenalkan aku Chika, teman Ran. Aku sudah mencari tahu banyak tentang kamu, dan aku juga sudah mendapatkan sejuta informasi mengenai hubunganmu dengan Ran.
Maaf, aku tidak berniat menghancurkan semua yang telah kalian bina. Tapi Za, aku rasa kamu harus pikir ulang mengenai apa yang kamu harapkan saat ini. Dia anaknya sangat nakal, dia tidak pernah menghargai perempuan. Aku yakin, dia bukan tipemu.
Mengertilah. Bukan maksud aku untuk merusak, tapi sejak kapan kamu dekat dengannya? Aku tidak tahu, apa kedekatan kalian lebih dulu daripada temanku pacaran dengannya?
Za, kamu perempuan kan? Bagaimana perasaanmu jika laki-laki yang kamu cintai dan mengaku mencintaimu juga dekat dengan wanita lain? Za, itu bukti bahwa dia tidak bisa menghargai perempuan.
Saat dia masih berhubungan dengan temanku, dia juga berhubungan denganmu meski tidak atas nama pacaran. Za, apa kamu tahu bagaimana sakitnya temanku ketika membaca puluhan SMSmu di inbox Ran? Memang, ini cerita lama.
Cerita setahun yang lalu, tapi mungkin bisa
jadi pertimbangan kamu untuk berpikir ulang. Sekarang kamu boleh bilang tidak
ada rasa padanya, tapi semakin lama kamu berkomunikasi dengannya semakin yakin
juga aku bahwa kamu akan masuk perangkapnya.”
Sejuta tanda
tanya muncul kelilingi otakku, siapa dia? Apa maksudnya?
“Za, aku
beri saran untuk kamu menjauhinya. Kamu boleh yakin akan kebaikannya, tapi kamu
tidak bisa ragu akan sakitnya temanku. Kalaupun kamu tidak mampu menjauhinya
karena keburukan sifatnya, tapi tolong jauhi dia tuk mengurangi luka hati
temanku.”
***
“Apa
maksudmu Za?”
“Sudah Ran,
aku menunggumu di sini. Tanpa perlu berhubungan via ponsel.”
“Kamu
kembali ragu?”
***
Jika esok
aku mati
Aku harap
ada seseorang yang memberitahumu
Bahwa aku
selalu menyayangimu
Dimanapun
aku berada
Kembali
rangkaian kata bersujud di hadapanku.
***
Kini, aku
tidak bisa berbohong.
Keputusan
menjauhimu tanpa alasan yang jelas sungguh menamparku.
Menyeret aku
kepada lembah kerinduan yang sangat menyakitkan.
Aku
Di sini
Menunggumu. ***Tamat***
*** Demikian puisi dan cerpen karya Riska Fauza yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
Post a Comment