Maaf dan Hadiah Dari Tuhan Cerpen Karya Rizky Pratama
Cerpen "HADIAH DARI TUHAN" Karya Rizky Pratama
Segala apa yang ada di dunia ini adalah sebuah anugerah, itu kata-kata yang tak pernah hilang dari setiap doamu. kata-kata yang selalu mengiringi langkahmu kata-kata yang bisa membuat orang lain senang dan tersenyum kepadamu.
Dan kata-kata yang hampir sering dapat membuatku benci padamu. Entah bagaimana! kamu menganggap semua ini adalah anugerah, sedangkan kamu tau? bahwa kamu itu bukanlah Tuhan.
Segala cobaan dan derita yang ada dihadapanmu, kamu balas dengan senyuman dan kata-kata yang tak pernah hilang dari bibir manismu, "ini adalah anugerah".
Sesekali kuberfikir bahwa kamu adalah seorang Gadis aneh yang pernah kutemukan Sesekali aku berkata " Aku menyesal karna telah menjadi tetanggamu, karena sikapmu yang sok-alim, baik, yang terkadang membuatku berfikir! bahwa kamu menyimpan rahasia dibalik semua tingkah lakumu itu".
Wajahmu sungguh mulus, tenang, dan penuh percaya diri. seperti mantera yang membuatku atau orang lain yang melihatmu akan langsung tersenyum hingga melupakan masalah mereka yang sebelumnya.
Tapi itu semua tidak bisa membuatku percaya diri, bahwa! sikap aslimu seperti itu, karena yang kutahu sealim-alimnya seseorang itu? pasti di dalamnya ada seperti iblis. Dia adalah Syafa. Dia mempunyai nama panggilan akrab dari sahabatnya 'sya'.
Dia anak gadis pengusaha terkenal, kaya terbesar di Indonesia! dan dia merupakan anak tunggal.
Sudah begitu kita sangat lama satu sekolahan, akan tetapi kita berdua tak pernah mau untuk saling sapa. Dan hanya kadang saling melihat karna kita berbeda kelas. Mungkin semua ini karena sikapku juga yang terlalu sering cuek, sombong, dan selalu membanggakan diri. Karena tampang dan betapa kayanya diriku.
Akan tetapi, aku terkadang berfikir bahwa aku sangat beruntung karna kita tidak berteman. Takutnya profesiku disekolah akan hilang jika berteman denganmu. Soalnya kamu kan norak, dan aku memang lah sangat tampan.
Wajar saja kalau banyak gadis yang menyukaiku dan selalu saja menyebut namaku, RIZKY. Dan pada akhirnya ia harus pindah sekolah karena ikut kemauan dari orangtuaNya dan kisah kita berdua berhenti sejak itu juga.
Beberapa tahun duduk dibangku sekolah. Akhirnya masa depan itu telah ada didepan mata. Bangku kuliah sudah menungguku dan aku mengambil fakultas bahasa.
Langit begitu cerah menandakan sesuatu yang baik akan terjadi kataku sambil turun dari mobil dan hendak bergegas kekelas. Tak sengaja waktu itu, aku mendorong seorang gadis cantik hingga terjatuh kebawah tangga, "Bruk..."
Karena yang kutahu, akukan tidak sengaja mendorong nya. Dan aku tak mau menolong gadis itu. Teman-temanku menyuru aku untuk segera menolong gadis itu. Tapi akukan gengsi karna banyak orang yang liat.
Gadis itu akhirnya berdiri dibantu sama temannya, dengan perlahan-lahan ia pun berdiri dan temannya bilang, "Kamu gimana sih,jadi orang itu harus liat-liat dong! " serunya. "Yang salah siapa coba? Aku atau sih gadis itu! Makanya kalau jalan itu jangan lelet kaya siput! Hahahha," kataku dengan suara agak enteng.
"Jadi orang tuh harus berperasaan dikit bisa gak! Kamu kan sudah melukai kaki temanku!" seruannya dengan nada bentak.
"Hei cewek! Kok kamu nyalahin aku sih?" balasku.
"Sudah.... sudah," katanya dengan suara yang halus dan lembut.
"Apa kalian nggk malu apa? dilihat orang banyak," ujarnya Siska, gadis yang memarahiku.
"Kita kekelas saja," katanya dengan suara tegas karna menahan sakit.
"Sya..., tapi dia itu harus minta maaf dulu sama kamu!" serunya dengan suara lantang sambil menunjukkan.
"Tak apa-apa, lagian kan aku sudah memafkannya. sakit ini juga tidak lama lagi akan hilang kok. Jadi untuk apa? kita memperbesar masalahnya" ujarnya yang halus keluar lagi.
"Dengar tuh, kata teman kamu!" ujarku sambil menyindir agar masalahnya cepat selesai". Mereka pun pergi meninggalkanku.
Kamipun bubar kembali kekelas. Sesampainya dikelas, kulihat kedua gadis itu,, "Oh.. Tuhan! Ternyata mereka seruangan denganku". seruanku didepan pintu jadi kesal.
Tak beberapa lama, Dosen pun masuk kekelas dan berkata, " MAHASISWA dan MAHASISWI sekalian mungkin kalian sudah saling mengenal satu sama lainnya, akan tetapi yang satu ini pasti belum..
Ia adalah MAHASISWI pindahan dari fakultas tinggi yang terkenal di Amerika. Dia datang kemarin karena ikut orangtuaNya. Kalian bisa bertanya langsung dengannya, selengkapnya kepada ananda Syafa dipersilahkan".
"Assalamu'alaikum,, perkenalkan Aku. Syafa kalian bisa memanggilku Sya. asalku asli dari Indonesia, aku dulu sejak SMP sudah pindah ikut orangtuaku ke Amerika dan sekarang aku kembali ke sini untuk belajar di negeri sendiri dengan mengambil fakultas bahasa.
Kuharap kita bisa berbagi ilmu,saling mengajari satu sama lainnya dan seterusnya....," katanya dan akhirnya percakapan selesai dan dosen pun menerangkan mata pelajaran yang belum dipahami.
Pukul 11.15 pergantian jam, Bahasa Indonesia. Tak beberapa lama waktu telah menunjukkan pukul 16.05 waktunya pulang. "Huh..... Akhirnya selesai. Sungguh melelahkan sekali."
Malamnya, belajar lagi... yang penting ayah sama bunda senang dengan hasil nilaiku yang bagus. Kalau begitu uang jajanku pasti ditambah. "Pruukkk...," suara benda pecah dibawah.
"Apa itu!" seruanku.
Aku langsung pergi beranjak dari dudukku dan berlari kebawah, dan menemukan Bunda tergeletak dilantai. Kucoba bangunkan, "Bun... Bun... Bunda," panggilku berkali-kali. tetapi bunda tak juga lekas sadar, akupun langsung membawanya kerumah sakit.
15-25 menit, akhirnya tiba dirumah sakit. Dirumah aku langsung memanggil suster untuk menolong Bundaku, aku khawatir sambil membawaNya ke suatu ruangan dan aku berhenti didepan ruangan itu, sambil menunggu dan menghubungi ayahku. "Kring.... Kring...."
Ayah tak menjawab panggilanku, "kring.... Kring..." Tak juga diangkat. Sambil berusaha Aku menghubungi ayah, tak beberapa lama dokter pun keluar. Dan aku langsung bertanya padanya
"bagaimana keadaan Bundaku?" ujarku dengan nada suara panik
"Keadaan Bundamu, ia hanya kelelahan saja dan butuh istirahat yang banyak." Ujar dokter yang merawat bunda.
"Oh.. Alhamdulillah kalau seperti itu dok, makasih dokter telah melayani bundaku." Ujarku dengan nada senang.
"Iya, sama-sama. Oh ia... bundamu bisa pulang hari ini juga, yaudah dokter pergi dulu, karna masih banyak pasien lain" Ujar dokter, yang pergi berlalu ke ruangan lain.
Setelah mendengar kabar baik dari dokter itu, akupun bergegas membawa bunda pulang.
Cuaca yang mendung, semua burung tak berkicau. Menandakan bahwa mereka tidak senang. Mengingat kejadian semalam, aku menjadi takut kehilangan bunda yang kusayangi, aku berharap bunda baik-baik saja.
Turun dari anak tangga, melihat heran ayah pulang terlambat, Kira-kira jam 07.15 seperti ini, dan tersenyum padaku memasang wajah yang tak bersalah membuatku emosi. Ayah menegurku, tetapi aku tak menghiraukanNya.
Aku marah karena ia tak menjawab telephone dariku. Semalam ayah tak tahu betapa khawatirNya aku pada Bunda. Sebelum pergi, aku mampir dulu sebentar ke kamar bunda, untuk melihat wajah bunda yang sedang terbaring lemah ditempat tidur.
Seperti anak bayi yang polos membuatku iba. Kuberharap bunda segera cepat pulih seperti semula.
Ku-nyalakan mobilku, sebelum berangkat kulihat dari dalam mobil sebuah rumah tetanggaku yang telah lama ditinggali dan kini sudah ada pemiliknya lagi, "Masa bodoh bukan urusanku," sindirku.
Dikampus, tak sengaja aku mendorong orang lagi dan ia adalah gadis berparas cantik itu. Akupun langsung segera meminta maaf kepadanya, karena sudah mendorongnya dua kali, kali ini aku sangat merasa bersalah pada diriku.
Aku tak menyangka, ia memberiku maaf begitu saja. Kukira harus ada seluk-beluk debat begitu dalam memberi maaf. "Secepat itukah orang memberi maaf. Aneh" Ujarku dan pergi meninggalkannya.
Tak terasa Hari berganti hari, begitupun juga bulan dan waktu yang selalu berputar. Hari dimana aku tak ingin hal itu terjadi padaku, kabar yang tak ingin kudengar, suasana yang tak ingin kurasakan dan semuanya terjadi bersamaan.
Dikamar bunda, entah apa rasa yang kurasa iba, sedih, khawatir, kacau, semuanya tercampur, seperti adonan tanpa resep yang akan menjadi kue seperti apa nantinya.
Innalillahi wa innalillahi rajiun, aku menangis bunda telah dipanggil oleh-Nya. Serasa hampa hatiku tak kusangka begitu cepat pikiranku serasa kacau, ayah yang tak ada disisiku untuk terakhir kalinya berasama bunda emosi ini makin membara.
Kupanggil kerabat dan tetanggaku untuk membantu menggurus jenazah bunda hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Sedih, rasa air mata tak hentinya terus mengalir, ditinggal pergi.
"Bunda.... Bunda..... Bunda.....," Panggil kau tak ingin kehilangannya. Seperti anak kucing terdampar disuatu tempat yang berusaha mencari induknya, akan tetapi tak ketemu-ketemu. "Bunda... Bunda....," jeritku.
Tiba-tiba terdengar suara lembut dan halus berkata "Sabar... ini adalah anugerah, semua sudah diatur oleh-Nya dan ini sudah takdir ibumu."
Aku berbalik dan melihat seorang gadis yang berparas cantik ada di hadapanku. ia sendirian seperti sedang menunggu seseorang, kemudian aku menghampiri-Nya dan ternyata dia sedang menungguku.
"Mari pulang iky," katanya ramah.
Bagaimana bisa dia tau namaku, sedangkan kami berdua tidak saling kenal heranku, "Siapa kamu?" tanyaku padanya.
"Aku sya teman kuliahmu," jawabnya sambil tersenyum.
"Aku tahu kamu sya, tapi kenapa kamu bisa disini? gumamku.
"Aku tinggal di seberang rumahmu, Iky sudahlah jangan tangisi ibundamu lagi. Apakah kamu tak kasian bila ibundamu tersiksa disana," jawabnya.
"Itu bukan urusanmu, jadi jangan sok akrab dan sok tahu," gumamku dengan suara kasar dan pergi meninggalkan dia.
Malam dirumah. Mudah-mudahan ibunda tenang disana, pikiranku saat berada di taman.
"Tok-tok-tok," suara ketukan pintu. Akupun hendak bergegas untuk membukanya... setelah ku buka pintu? ternyata Sya tetangga baruku. Aku menatapnya dengan wajah tak senang.
Dia memberiku sebuah bingkisan makanan dengan senyuman manis dan aku menerimanya, tapi tak mengeluarkan satu kalimat pun. karna Gengsi lah gw cuk
Dia juga menanyakan kabarku ayahku, tapi aku tak menjawab satupun dari pertanyaan-Nya dan membiarkannya berdiri saja di depan pintu, dan diakhir perbincangan kami dia bilang, "Apakah aku bisa menjadi temanmu? Aku tahu pasti kamu nggak senang denganku, tapi aku berharap kita bisa menjadi teman, kamu bisa menjawabnya besok," katanya lagi dan meninggalkanku.
Cerah tak berawan, suasana yang berbeda. Di kampus, kucoba untuk menjawab pertanyaan Sya semalam, dan aku akan menemuinya. Pertama-pertama kami hanya terdiam begitu lama tak ada basa-basi sedikitpun. Kemudian akupun memulai percakapan.
Aku berkata, "Makasih atas bingkisan yang semalam, maaf soal kemarin, dan.. kamu maukan jadi temanku?" kataku lagi dengan lugas dan menatapnya.
Dia terdiam sejenak menunduk dan mulai tersenyum padaku dia menjawab, "Tentu".
Sejak saat itu pertemanan kamipun dimulai. Hari berganti hari suasana baru sangat terasa begitu hangat yah walaupun cuacanya sedang hujan, pukul 13.00 waktunya berangkat ke kampus.
Sekarang jam kuliahku masuk agak siang sih, banyak Teman-temanku berkata mereka malas kuliah mungkin karena waktunya juga sih yah, tetapi kenapa aku tak merasa bagitu yah... Aku malah senang karena sya yang membuat hatiku sangat gembira(bahagia).
Tak kusangka aku yang sudah begitu lama bersamanya, cewek yang pertama kali menjadi temanku tapi bukan pacarku. Dia memang sangat berbeda dengan cewek-cewek di tempat kuliahku.
Kabar buruk pun menimpahku, perusahaan ayahku bangkrut. Semua harta kami disita terkecuali rumah dan ayahku harus ditangkap polisi.
Aku sejenak terdiam di halaman rumah dengan tatapan hampah, kosong sesekali, bingung.... bingung aku tak tau harus berbuat apa? Putuslah sudah harapan besarku.
Aku tak ingin lagi kuliah, aku malu dengan keadaanku yang sekarang. Aku yakin semua orang tak ada lagi yang mau berteman denganku.
Sekarang aku pun lebih menggurung dirumah. Tapi apa aku tak mengerti dengan sya, karena dia selalu datang ke rumahku membawa bingkisan makanan dan tak mau menjauh untuk meninggalkanku.
Sesekali aku memarahi-nya dan mengacukan-nya, untuk tidak lagi datang kerumahku, tetapi dia tetap saja datang dan menungguku untuk membuka pintu.
"Rizky. aku datang untuk menjengukmu, jangan seperti ini ku mohon keluarlah!" kata sya dengan lembut.
Akhirnya ku membuka pintu, dengan wajah yang kusut dan tatapan kesal. "Sya kamu kenapa sih kesini lagi, apa kamu tidak malu berteman dengan anak korupsi!" kataku seru.
"Ehits...
mengapa aku harus malu coba?, aku datang kesini tidak bermaksud untuk
menghinamu dan membuatmu malukan!" katanya lembut.
Cerpen "MAAF" Karya Rizky Pratama
Pemakaman itu tampak sepi. Tak ada pengunjung di jam sibuk seperti ini. Aku melangkah pelan menuju salah satu batu nisan. Belum Sampai aku di batu nisan sana, air mata kesedihan pun telah menggenang di pelupuk mata. Di batu nisan itu, tertulis sebuah nama seseorang yang paling kurindukan selama belasan tahun. Orang paling hebat yang pernah kukenal seumur hidupku.
Kuusap perlahan batu nisan yang dingin itu, seketika berjuta kenangan manis dan pahit masa laluku saling berebutan untuk memenuhi pikiran. Aku dipaksa mengingat masa laluku yang kelam. Di gedung sekolah SMK itu, di sanalah tiga tahun yang lalu ceritaku di mulai.
"Semoga harimu menyenangkan, Sayang," ucap Papa di saat kami mau berangkat ke sekolah.
Hari pertama kami sebagai siswa SMK, aku memeluk papa. Aku tau ada ribuan kecemasan di sana, untuk melepas kedua buah hatinya menghadapi dunia yang sebenarnya. Kami bukan lagi dua anak mungilnya yang menggemaskan.
Hari pertama? Yah, aku benci di hari pertama itu. Kesan buruk benar-benar membekas di hati. Teman-teman yang baik? Ah ... sialan, aku bahkan ragu akan adanya namanya teman di sekolah ini.
Entahlah, mereka selalu tertawa setidaknya untuk tiga sampai empat kata yang baru kuucapkan. Mereka bilang kalau aku bicaranya terlalu bertele-tele, sulit untuk dimengerti dan tidak jelas. Katanya itulah yang membuatku terlihat bodoh. Sebagai finalnya, mereka tertawa keras. Bukan, mereka tertawa denganku, tapi merekalah yang menertawakanku.
"Bagaimana harimu?" tanya Raka saat kami sedang di perjalanan pulang.
"Kau pasti tahu jawabannya Raka," jawabku agak kesal. Aku bahkan hanya membentak Raka setelah kesan buruk di hari pertamaku sekolah.
Dihina dan dicemooh sama teman-teman di hari pertamaku sekolah. Aku tau ini akan menjadi masa SMK yang panjang dan sangat sulit. Raka? Seperti biasa dia segera menjadi populer dengan kegantengannya. Ah! Sungguh menyebalkan.
Padahal kami kembar, tapi kenapa hanya satu yang disukai? Kami 'kan sepaket. Kutatap sekali lagi wajah lelaki ini. Kami benar-benar mirip, untuk alasan apapun aku tetap menyayanginya.
"Ada apa Siska? Apakah kau baik-baik saja?" tanya Raka sekali lagi. Aku hanya menggeleng.
"Ayolah Siska, ada apa?" paksanya sekali lagi sambil menggenggam tanganku. Lihat! Dia mencoba untuk tebar pesona, bahkan dihadapan kembarannya sendiri. Benar-benar menyebalkan.
Karena aku tak mau menjawab, Raka memilih untuk diam saja. Sebelum pulang dari sekolah, dia terlebih dahulu meminta diantar ke salah satu toko buku. Yang benar saja? Sejak kapan dia mulai mau mengunjungi tempat seperti itu? Aku tau, pasti ada alasan di baliknya.
"Aku mau ikut," kataku ketika dia sudah membuka pintu mobil.
"Kurasa kamu di mobil dulu, Siska. Aku tidak akan lama," jawabnya cepat lalu ia berlalu pergi.
Aku diam saja dan tidak sama sekali untuk mencoba membantah. Jika Raka melarang, maka aku akan benar-benar tak akan melakukannya. Itulah yang selama ini kulakukan sebagai seorang kakak. Ah, kasihannya aku yang sebagai seorang kakak yg penurut kepada adiknya.
Aku melirik ke dalam toko buku itu. Di sana ada Raka sedang berbicara dengan seorang gadis. Gadis itu terlihat cantik seperti dugaanku sebelumnya.
Toko buku itu hanyalah sebagai tempat pertemuan Raka dan gadis cantik itu. Ah! kuno, padahal kalau dipikir-pikir begitu banyak tempat yang romantis, tetapi kenapa dia malah memilih ke toko buku? Aneh bener 'kan? Seperti biasa dugaan dan feeling ku sangat kuat.
Kami tiba di rumah dan seperti biasa mama sama papa sudah siap dengan semua pertanyaannya. Sementara aku memilih diam, tapi akan memalukan jika mengakui bahwa ada kemungkinan aku akan mengalami pembully-an selama masa sekolah SMK kunantinya. Ah, sungguh menyedihkan!
Aku masuk ke kamar dan mengambil laptopku dan memulai mengetik kisah pilu yang kualami waktu pertama masuk sekolah. Ingatan akan tertawaan dan cemoohan mereka kembali terbanyang dalam ingatanku. Aku harus menjadikannya sebagai semangat. Harus! Tapi untuk semangat apa juga? Ah, biarlah kupikirkan nanti saja.
Tak terasa sudah satu semester telah berlalu dengan begitu cepat. Masih dengan kabar yang menyedihkan bahwa diriku adalah seorang gadis buruk rupa yang diasingkan di kaumku.
Mereka tak pernah mengajakku untuk berkumpul dengan mereka, bahkan hanya untuk sekedar bertegur sapa dan mereka juga tak pernah mau berbagi cerita tentang gosip ter-update denganku.
Karena itu aku menjadi lebih suka menyendiri, pendiam, dan selalu memeluk laptop. Gadis dengan pandangan yang selalu tenggelam di balik kacamata besarnya. Ah, sial! Ternyata hidup itu benar-benar keras rupanya.
"Siska, kurasa mulai hari ini aku ingin naik mobil sendiri. Suruh sopir yang mengantarkanmu ke sekolah." Ucapan Raka terasa seperti awan mendung di pagi cerahku.
"Baiklah," ujarku pasrah.
Kami sampai di sekolah hampir bersamaan, walau dalam kendaraan yang berbeda. Raka turun lebih dulu dan aku mencoba menyusulnya. Ah! sialnya dia malah berlari dan langsung terlihat menggandeng pacarnya. Lebih parahnya lagi, dia lebih memilih pacarnya yang baru dikenalnya selama satu semester dari pada aku kembarannya yang salama hampir 15 tahun ini.
"Hai, Putri malam. Apa kabar? Hahaha ...." Seorang teman lelakiku yang sebenarnya jauh lebih hitam malah sudah mengataiku di pagi hari. Julukan putri malam, ya memang sudah populer untukku karena kulit coklat yang menjadi ciri-ciri tubuhku.
"Aku tentu baik-baik saja, Pangeran." Seorang lelaki yang tak kalah hitamnya menyahuti pertanyaan konyol itu. Lihatlah, di sini siapa yang bodoh? Siapa yang ditanya, siapa juga yang menjawab.
Siapa yang hitam dan siapa yang meneriaki orang hitam. Aku bertekad, jika mereka sudah menikah, aku akan memberi mereka sebuah kado besar berupa cermin raksasa.
Aku menuju bangku yang terletak di sudut ruangan. Yang paling gelap dan suram, akan tetapi justru yang paling mengerti diriku. Aku selalu suka kesunyian. Tanpa harus mendengar cemoohan mereka. Biarlah mereka berkoar-koar di belakangku. Lagi pula aku tak mendengarkannya.
Kulirik Raka. Ia hanya diam dan menyibukkan diri dengan buku catatannya. Aku tak pernah tau apa yang dipikirkannya jika aku diperlakukan tak adil seperti ini. Dia hanya terus menunduk, enggan untuk memperlihatkan wajahnya.
Begitulah aku di kelas sepuluh. Tak ada yang spesial. Tak ada teman, sahabat, bahkan kekasih. Aku benar-benar sendirian di tengah-tengah sekolah dengan total murid hampir 900 jiwa ini.
Segera setelahnya, aku dan Raka akan berumur genap 17 tahun. Aku tau ini umur yang spesial, tetapi pada kenyataannya aku bahkan tak punya satu teman pun yang bisa kuundang. Malam itu, pesta kami berdua hanya ramai oleh seluruh teman Raka.
Semua tertawa bahagia, tapi tanpa diriku. Papa dan mama bahkan terlalu sibuk meladeni pacar Raka, Amel. Aku masuk kamar, perasaanku terlalu hancur untuk tetap di luar sana di dalam sebuah pesta ulang tahun, tetapi bukan untukku. Rasanya sakit sekali.
Sejak hari itu, kebencianku pada Raka semakin bertambah. Aku benci perlakuan berbeda orang-orang pada kami. Mereka mengganggap Raka itu segalanya, sedangkan aku? Aku diejek jelek, kaku, kuno dan lainnya.
Pernah waktu itu aku mencoba memberanikan diri untuk berbicara di depan umum saat membawakan pidato, tapi pada akhirnya bukan pujian yang aku dapatkan, melainkan teriakan dan hinaan yang mengalahkan keberanianku. Aku turun dengan rasa sakit hati yang terperihkan. Aku sudah kalah bahkan sebelum mencoba.
Masa-masa di kelas akhir adalah yang terindah. Aku akhirnya mempunyai sahabat. Namanya Tasya. Dia cewek yang luar biasa, pembawaannya yang riang dan kocak dengan cepat bisa membuatku nyaman, walau konsekuensinya akan dimusuhi sekelas, tetapi Tasya tak pernah peduli. Ia tetap mau bersamaku ke mana pun kita berada.
Di saat yang bersamaan, teman seangkatan tetapi berbeda kelas pun mulai mendekatiku. Entah untuk alasan konyol apa, dengan terang-terangan ia menyapaku saat di kantin. Di saat cowok lain akan lebih memilih untuk menghinaku.
Dia berbeda. Dan kurasakan getar-getar asmara cinta itu mulai menggelitiki kalbuku, memaksaku mengakui ada benih cinta yang tumbuh di hatiku untuknya.
"Coba lihat Siska, Reza sedang menatapmu," kata Tasya saat kami sedang di kantin. Dengan cepat wajahku merona merah karenanya.
Reza mulai mendekat. Berbicara denganku dan Tasya. Seiring berjalannya waktu kami semakin akrab dan sering mengobrol bersama. Reza dan Tasya membuat hari-hariku indah di saat Raka justru membuat segalanya semakin buruk. Pernah ada segerombolan adik kelas mendekatiku dan menanyaiku.
"Kak Siska sama Kak Raka beneran kembar?" Aku nyaris terbatuk-batuk mendengar pertanyaan polos itu. Jadi, selama ini mereka ke mana saja? Tapi tiba-tiba Raka yang berada tak jauh dariku langsung menjawab dengan jawaban tersadis yang pernah kudengar.
"Bukan. Siska bukan kembaranku," jawabnya tanpa ada rasa bersalah. Aku diam dan mencoba mencerna kalimatnya yang terdengar seperti dari planet lain itu.
Kejadian itu menambah kadar benciku pada Raka. Sebegitu malunyakah dia mengakuiku sebagai saudaranya? Aku ingin membuktikan bahwa kelak keberhasilan itu akan ada digenggamanku dan tak kubiarkan siapapun mencemoohkanku.
Kulirik sebentar Raka yang sudah kembali ke perkumpulannya bersama Amel. Mereka tertawa keras sekali dan seketika itu hatiku hancur sekali. Inilah masa-masa awal sulitku bersama Raka. Tak ada tegur sapa di antara kami.
Kami berdua lulus SMK dengan suasana yang amat tidak menyenangkan. Tak ada lagi Raka yang bersedau gurau saat berlibur dan tak ada lagi Siska yang memanja saat sedang bersantai bersama.
Perlahan hatiku berteriak rindu pada Raka, berharap ia kembali menjadi adikku yang manis. Menjadi kembaran yang siap menggenggam erat tanganku untuk melawan apapun. Tapi kini dia adalah Raka yang mungkin takkan pernah lagi mengulurkan tangan sekalipun saat melihatku terjatuh.
Sudah terlalu jauh jarak yang terbentang di antara kami. Jembatan? Akan butuh waktu yang sangat lama untuk membangun itu di antara kami berdua. Segalanya sudah berubah.
Selama enam tahun aku dan Raka benar-benar tak pernah bertemu. Ia kuliah di Bandung, dan aku di Jogja. Tak ada kontak apapun. Kami sekarang seolah seperti orang asing, walau begitu aku sangat menyayanginya.
Aku ingat saat ia memelukku ketika aku dilempari telur-telur busuk. Baru sekarang aku tau, dilempari telur busuk itu sakit sekali. Setidaknya ia pernah berkorban sangat besar sebelum pada akhirnya ia melukai hatiku sangat dalam.
Terakhir kami bertemu adalah saat yang paling kusesali hingga saat ini. Saat itu aku telah sukses memimpin sebuah perusahaan. Aku diangkat menjadi direktur utama dan seketika hidupku bergelimang harta.
Raka datang padaku, ia benar-benar datang dan hendak meminjam uang untuk membiayai kuliahnya. Aku menolak permintaannya tersebut. Waktu itu aku benar-benar menolaknya, membentaknya, dan mengembangkan semua usahaku. Raka hanya diam, ia pamit dan sampai sekarang tak pernah kudengar lagi kabarnya sejak itu.
Tapi, semua itu hanya berlangsung selama beberapa bulan saja. Aku ditipu, seluruh aset kekayaanku disita. Hutang yang bertumpuk nyaris membuatku mendekam dipenjara. Tapi mama bilang bahwa Raka menebusku. Ia mengambil semua uang tabungannya dan membantuku. Aku tahu itu benar. Tapi aku masih gengsi untuk berterima kasih kepadanya.
Bahkan semua terasa terlambat, aku mungkin takkan pernah melihat Raka lagi. Kupandangi gelang pasangan yang dari kecil selalu kami kenakan, gelang ini punya banyak kenangan indah bersama dia.
Sekarang pun, setiap kali melihat lesung pipiku akan langsung menangis. Lesung pipi yang juga dimiliki Raka, sungguh aku ingin melihatnya lagi. Sekali lagi kupandangi seujung selang yang membelit di tubuhku. Adakah harapanku untuk tetap hidup dan menunggu Raka kembali melihatku?
Waktu itu, tepatnya hari jum'at sekitar jam 20.00 tepat, pintu kamarku dimasuki seseorang. Orang itu mengenakan jas putih yang seperti para dokter kenakan. Dia tampan sekali. Seketika air mata yang tak bisa kubendung lagi tumpah ruah membasahi pipiku.
"Raka Abdul Rahman." Aku membaca nama yang tersemat di jas dokternya. Ya Tuhan, betapa tampannya adikku dengan jas dokter itu. Aku terus menangis, entah harus berkata apa. Aku terlalu bahagia, terharu, semuanya benar-benar terasa indah sekarang.
"Maaf ... sungguh maafkan aku, Siska." Tiba-tiba Raka bersimpuh memeluk lenganku. Setelah sekian lama dan untuk semua cacianku beberapa waktu yang lalu untuknya, dia hanya berkata maaf? Kukira akan ada rasa kebencian dan amarah.
Apa saja asal jangan maaf. Semudah itukah? Maaf itu seharusnya dari diriku. Aku yang sudah sangat membencinya, sudah pernah mengecap ia sebagai adik yang paling kubenci di dunia ini. Seharusnya aku menerima sumpah serapah bukan permintaan maaf. Kami berdua pun berpelukan lama sekali, sampai kusadari kepalaku sakit dan hidungku berdarah.
"Aku juga minta maaf Raka, sebelum aku pergi. Terima kasih sudah mau datang," ucapku. Aku tahu waktuku telah dekat.
Raka menggeleng cepat, lalu mengusap lembut darah segar yang ada di hidungku.
"Kau takkan pergi ke mana pun Siska, kami berhasil mendapatkan donor hati untuk kankermu. Percayalah, kau akan tetap hidup," ucap Raka menyemangati. Aku nyaris tak percaya. Akhirnya, donor yang lama kutunggu datang juga.
Malamnya Raka menemaniku. Kami bercerita banyak hal, tentang begitu banyak masa yang telah terlewati, tentang perpisahan kami. Aku tahu ia menyesali semuanya bahkan ketika aku hendak istirahat, Raka tak juga melepaskan genggamnya. Ia tidur di samping ranjangku hingga esoknya aku akan operasi. Ia benar-benar membayar semua kerinduan yang menyiksaku selama bertahun-tahun.
Sorenya aku siap dioperasi. Anehnya saat hendak memasuki ruang operasi, tak ada Raka di sana. Mungkin karena ia adalah seorang dokter muda, ia tak dipercayai untuk melakukan operasi besar ini. Beberapa saat kemudian aku sudah terlelap karena obat bius.
Saat siuman, kudapati tubuhku sudah terbaring di ruang rawat inap. Operasiku berhasil. Donor hati dilakukan dengan begitu sempurna. Mama memelukku, wajahnya banjir air mata. Papa hanya memandangiku dengan senyum yang sulit kutafsirkan. Yang aku tahu mulai hari ini, semua akan baik-baik saja.
Tapi kemudian, sehelai surat jatuh dari genggaman mama. Di saat yang sama, mama menangis kencang sekali. Dengan gemetar kupungut surat itu dan membacanya.
Untuk Siska, kakak, kembaran, dan orang yang paling berharga di hidupku.
Jika kau sudah membaca surat ini, itu artinya aku sudah tiada, dan kau pun sudah siuman. Operasi tentu berjalan dengan lancar, bukan? Maafkan aku karena harus meninggalkanmu untuk kedua kalinya. Maaf sudah pernah menciptakan kenangan SMK paling buruk di hidupmu.
Aku sungguh menyesal, Siska. Sebagai gantinya, kuhadiahkan hatiku sebagai kado sweet seventeen kita yang dulu tak sempat kuberikan untukmu. Kubuat sebagian perjalanan hidupmu menjadi baik, izinkan aku menebusnya dengan seluruh hidup yang kumiliki hanya untukmu, Siska. Karena aku pergi dengan amat bahagia, kau yang masih tinggal harus melanjutkan hidupmu dengan bahagia pula. Kumohon berbahagialah...
Tanda sayang, Raka Abdul Rahman.
Seketika aku tersadar. Bahkan dengan memegang nisannya, membuatku kembali mengingat kenangan luar biasa itu. Belasan tahun silam, "Raka Abdul Rahman" nama itu terukir di nisan ini. Nama yang dulu terukir indah di jas dokternya, kali ini berakhir di batu nisan. Bersama Raka aku belajar banyak hal.
Dengannya aku jadi tahu betapa besar kekuatan sebuah maaf. Maaf menyatukan kami yang terpisah waktu dan jarak ribuan kilometer. Dia membuatku mengerti bahwa maaf bisa menjadikan semuanya baik-baik saja.
Aku juga memenuhi keinginannya, aku
menjalani hidupku dengan penuh kebahagiaan. Sebuah cincin emas putih berpendar
manis di jariku. Perutku yang buncit kuelus perlahan.
"Ucapkan
salam pada pamanmu, Sayang," ucapku sambil mengelus perut buncitku.
***TAMAT***
(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Post a Comment