Kacamata Terakhir Kumpulan Cerpen Kehidupan Karya Sil Sila Yusuf

Table of Contents

Kacamata Terakhir Kumpulan Cerpen Kehidupan Karya Sil Sila Yusuf

Cerpen "KEBUN NIARSIH" Karya Sil Sila Yusuf

"Aku ingin punya kebun pisang seperti Niarsih, lebat buahnya, setandan sepadan berdirinya orang dewasa," tutur ibuku sambil menerawang tatapannya, menyusuri kebun pisang Niarsih yang terletak di sebelah kiri rumah.

"Ibu, apakah ada sesuatu yang kau butuhkan dan Tuhan belum kabulkan?" tanyaku, lantas Ibu beralih menatapku dengan binar mata yang sulit dilukiskan.

 "Tidak, Anakku. Selama ini Tuhan memberikan banyak sekali nikmat, salah satunya dengan menghadirkanmu dalam hidupku. Kau selalu mencukupi kebutuhanku."

"Lantas apa yang membuatmu ingin kebun pisang seperti Niarsih, jika kau telah merasa cukup dengan apa yang Tuhan berikan?

Bukankah kautahu, Niarsih selalu mengeluh, penghasilan pisang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya?!"

"Kau benar, Anakku," tukasnya selepas mengempas napas di udara.

"Ibu lupa, seharusnya Ibu bersyukur, meski Ibu tidak punya kebun pisang, Tuhan telah membuat hidupku tanpa kekurangan." Ibu mengusap pucuk kepalaku yang menua, lalu berkata, "cepatlah menikah. Ibu butuh menantu dan cucu." Aku hanya bisa menelan ludah mengingat perempuan yang kuinginkan adalah anak dari seseorang yang baru saja Ibu bicarakan.

Sumenep, 13122020


Cerpen "KACAMATA TERAKHIR" Karya Sil Sila Yusuf

Sore itu, malaikat mendatangiku. Menyerahkan selembar daun yang jatuh di Lauh. Dibisikkannya sebuah tanda. Kegelapan sangat hampa seketika dalam dada. Tak kutemukan anak-anak yang tadi pagi berhambur menyalami. Tidak pula rumah, yang baru kubangun di atas sejadah.

Perempuanku datang dari sisi sorga, memberikan kacamata. Hitam warnanya. Kulihat dia tersenyum sebentar, menyaksikan kunang-kunang membelah lautan. Tapi dia menangis kemudian. Badai menghampirinya. Sedang aku tenggelam ke dasar samudera.

Perempuanku tumbang. Kakinya kehilangan telapak. Darahnya membeku di kalbu. Kacamata yang ia beri terempas ke tepi. Membias jadi sepi.

Perempuanku berlari akalnya. Memanggilku dengan sangat cinta. Disebutmya anak-anak seperti mengunyah mantra. Dan Yasin tanpa suara. Tahlil aroma dupa.

Aku diam. Sukmaku mengitari. Mencari rela di sudut hati. Perempuanku mengalir air matanya. Merasakan nyeri melebihi tusukan belati dan lilit jerami. Anak-anak dikantongi bersama api. Menyulutnya hingga sunyi dan sunyi lagi.

Diciumnya berulang-ulang. Pucuk kepala yang lebih sakit dari luka. Hingga pecah kacamata. Bekasku menikmati rindu dan masa. Doa doa mengantarku ke surga.

Sumenep, 26092020


Cerpen "SERUAN HATI PETANI" Karya Sil Sila Yusuf

Suatu hari di musim panen jagung, Bu Ratih dan Bu Erlin bertemu di gudang pedagang jagung. Keduanya saling bertukar sapa dan cerita.

"Bagaimana hasil panennya, Bu?" Bu Erlin mengawali percakapan di saat keduanya duduk di kursi deret menunggu antrian timbangan jagung.

"Habis, Bu, jagungku dimakan monyet saat masih muda. Ini sisanya kujual semua, paling ada satu kuintal!" Bu Ratih menunjuk jagungnya dengan tangan kanan terayun di udara. "Kalau punya Bu Erlin bagaimana?" Lanjut Bu Ratih, balik bertanya.

"Alhamdulillah, Bu, dapat empat karung beras. Ini saya jual satu karungnya!" Jawab Bu Erlin sembari menyentuh sekarung jagung ukuran 25kg dengan senyumnya yang khas.

"Lho, sisanya buat apa, Bu?"

"Sekarung untuk sowan ke Kyai, Bu, hitung-hitung rasa syukur dan terima kasih, anak-anak belajar ngaji ke beliau. Satu karung buat amal, biasanya ada plastik berjalan dari pondok-pondok untuk pembangunan pesantren, siapa tahu jadi jariyah. Dan satu karungnya lagi untuk dimakan sekeluarga. Kalau yang ini saya jual untuk keperluan anak sekolah, Bu!" Lagi-lagi senyum merekah di wajahnya, seakan ada kebahagiaan yang luar biasa di musim panen jagung tahun ini.

"Waduh, sudah sedikit, masih pula dibagi-bagikan. Apa tidak sayang, Bu?"

"Tidak, Bu, sudah menjadi seruan hati para petani di kampung saya, jika bertani tidak untuk dimakan sendiri saja, tapi juga untuk dibagi-bagikan, berapun perolehan panennya."

Sumenep, 3-4012021


Cerpen "AJARI AKU PERLAHAN-LAHAN BUNDA" OLEH Sil Sila Yusuf

"Bunda, aku ikut salat ya!" Tiba-tiba suara si kecil melengking di telinga pada saat aku menggelar sejadah di mushalla keluarga. "Iya, sayang, Hammad boleh ikut salat sama bunda," jawabku sembari mengusap dan mencium pucuk kepalanya.

"Tapi salatnya satu saja ya, bunda!" Spontan mataku melebar. Tapi kemudian memaklumi, anak berusia tiga tahun, mau belajar shalat saja sudah mujur. Soal jumlah rakaat, akan dia pelajari sesuai kadar mampunya.

"Iya, boleh"

Terus terang saja ini bukan perkara mudah. Di satu sisi, aku ingin mengajari si kecil shalat, di sisi lain, ini waktu dhuhur, tentu saja rokaatnya ada empat, bukan satu.

Ah, biarlah, ini sudah kepepet. Aku harus segera menunaikan shalat. Aku pun merapikan mukenah di wajah, kutarik di bagian dagu pada garisnya. Kuikat tali di bagian belakang kepala, agar tidak ada celah antara dalaman dengan batas kepala saat shalat. Sementara si kecil sudah tegak berdiri di samping kiriku dengan memakai sarung, kaos dan peci. Aku gemas melihatnya. Dia jadi semanis kang santri.

Allaaahu Akbar

Anakku menirukan setiap gerakan shalat. Sampai di rakaat ketiga, dia mengeluarkan suara yang berbeda. Ini sungguh bukan bacaan shalat.

"Bunda, shalatnya kok lama sih, kan tadi aku bilang satu saja!"

Dia merengek dan merebahkan tubuhnya di sajadahku. Konsentrasiku ambyar. Tawaku nyaris meledak. Apalagi ketika dia melanjutkan kata-katanya.

"Aku kan capek, bunda. Bunda sih, bandel"

Allahku, aku seperti makan buah petasan. Meledak-ledak di dalam perut. Sejak saat itu, aku agendakan shalat di awal waktu, memberi ruang untuk anakku jika ingin belajar, agar salatku tidak terganggu dan si kecil merasa senang bisa belajar sesuai mampunya.

Sumenep, 6112020

***
Demikian cerpen karya Sil Sila Yusuf yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini. 

(Catatan Penutup)

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment