Kumpulan Puisi Cinta Sedih "Tabah Badai Pasti Berlalu" Puisi Kei Naz Puisi Galau Patah Hati

Table of Contents


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam kopi pahit...
Puisi merupakan ungkapan perasaan yang menggambarkan tentang cinta, kehidupan, bahagia, sedih, rindu dan alam. Oleh karenanya pada postingan ini, admin ingin membagikan puisi cinta sedih karya Kei Naz

Di bawah ini tersedia daftar isi puisi yang akan memudahkan untuk melihat dan membaca lebih banyak puisi karya Kei Naz lainnya.

Dalam hal ini admin menekankan bahwa sumber tulisan dan hak cipta sepenuhnya milik penulis. Selamat membaca!.

Profil singkat penulis :
Facebook Kei Naz
Instagram Lentera Merindu

Puisi Sampah Kata


"MUTIARA HIKMAH"

Oleh Kei Naz (Lentera Merindu)


Ketika hasrat terbelenggu duka, benak terpenjara nestapa nan perih

Kepedihan seolah berantai, mengikat diri kian lemah

Di mana hendak kulabuhkan pijak bila dunia enggan berkawan

Hati gundah rebah dalam kesunyian


Tuhan, bukankah Engkau tak pernah tidur

Lalu mengapa pintaku kerap tak terdengar

Mungkinkah aku yang terlalu banyak meminta dengan pongah

Lupa jika diri masih sering abai pada perintah


Kehidupan memberiku badai namun Tuhan meluaskan sabar untuk kutuai

Acapkali limbung dan terjatuh lalu jenuh menawarkan rapuh

Aku kalah nyaris sempurna menimang basah dari tetesan derai

Lentera aksara kembali kunyalakan demi menuliskan mutiara hikmah


Berhiaskan doa, kupercantik niat karena-Nya

Anganku akan selalu mengembara dalam semesta penuh cinta

Hatiku tak boleh menyerah sebab mimpi senantiasa datang menjarah

Kelak diri yang kepompong ini akan menjelma kupu-kupu indah

Balikpapan, 21 Desember 2020



"BADAI PASTI BERLALU PUAN"

Oleh Kei Naz

(Lentera Merindu)


Seseorang yang melukis senyum indah di bibirnya,  terkadang adalah dia yang menelan getir bulir kepedihan dari pelupuk,  lalu menutup mata untuk semua sayatan luka batin.

Dia yang kuat memeluk erat yakin, bahwa esok masih tersisa harapan untuk bahagia.


Setiap saat roda kehidupan selalu berputar, asa bergerak serupa jarum waktu. Mendetak hampir tak berjarak. Mata dan hati silih berjanji, bahwa badai sehebat apapun akan berlalu.


Namun nyata ruang yang sedianya mengukir banyak cerita,  menghampar sisa-sisa puing.

Kenangan, entah bernama luka hingga sakit terlalu rumit untuk dilisankan.

Atau mungkin aroma pekat dari jejak-jejak kisah berupaya mengasah sejumlah pasrah.


Percakapan daun-daun jatuh pada bumi yang rela menjadi pijak. Lalu aku berkaca pada cermin yang  serupa genangan, kecipak basah menyampaikan perihal simfoni dunawi.


Adalah raga kita yang merekam setiap gurat nyata perjalanan, dan dengan sungguh menyanggah warna-warni takdir.


Kau sebut luka untuk suka yang kuperjuangkan.

Kau perlihatkan bahagia di tahta hatiku yang menangis.

Kau tampakkan gurat kecewa, namun justru kecammu membawa langkahmu ke titik bahagia.

"Kupahami, terkadang ilusi hadir membawa pesan hati yang pasi."


Keindahan dalam setiap perjuangan,  adalah titik balik sebagaimana kita terlahir.

Maka berjuanglah untuk setiap payahmu, bangkit saat terpukul sakit.

"Karena badai pasti akan berlalu, Puan."

Balikpapan 2020



ABADI DALAM SUNYI

Lentera Merindu


Kau adalah ingatan yang tumbuh di ranggas musim kemarau

Aku adalah doa yang  meminta luruh hujan menggenangi kita

Mengalirkan hasrat di sekujur tubuh rindu

Mengenapi sepi dengan air mata.


Kau adalah helai dedaunan  yang jatuh sebelum ketiadaan menjemput

Aku adalah keranda waktu yang mengusung sembilu

Membawamu masuk ke liang dadaku hingga mengakar hunjam tak tercabut

Segalamu kubiarkan tumbuh abadi  dalam kenangan pilu


Rindu serupa pujangga

Cinta menjelma syair

Kesetiaan selalu kujaga

Meski kalut dalam semilir


Kita yang abadi namun takdir memberi getir

Kita yang memilih pergi karna hati tak sanggup menyakiti

Kita  yang menyusuri persimpangan dengan hati mendesir

Adalah kita yang kini memagut lupa, abadi dalam sunyi...

Balikpapan, 6 November 2019



Pandora Kenangan

Kei Naz / Lentera Merindu


Jika suatu hari pandora kenangan kau buka,  kumohon bacalah dengan teliti,  sepenuh hati,  agar kalimat yang telah kumaknai dengan hati tak akan membuatmu tersakiti.


Sebelum kau teriakkan lantang kata perpisahan di telingaku yang pernah kau bisikkan madah-madah asmara,  telah lebih dulu kukecap lakumu, kuteguk berulang secangkir kesepian hingga melukai bibir, kusimpan sayatan-sayatan perih di bilik jantung demi menjaga namamu tetap berdetak.


Lalu lamat-lamat kubaca percakapan dari bahasa tubuh dan matamu yang berdialog ragu seolah ingin menyampaikan bahwa rasamu telah meredup suluh,  bahwa nyala unggun telah padam dan lelah menumpah cahaya, bahwa cinta untukku menyentuh titik binasa.


Sungguh,  bagiku waktu tak punya angka-angka untuk menghitung berapa banyak hari kulalui dengan derai, kerap mendulang jatuh di antara patahan-patahan reranting yang berserakan,  hati ini  bagai tak mampu membuka ulang selaksa perjalanan yang menghilang di ujung senja. Membiarkan tubuh mendekap erat sisa-sisa peluk yang remuk.


Daun mapel yang terakhir kau sentuh dengan langkah tergesa-gesa,  diam-diam mewartakan padaku "Bahwa langkah kepergian yang tak memberi pesan untuk kembali tak layak kuhadiahkan penantian. Bahwa musim-musim yang melerai pertikaian sepasang hati, kini harus mengunci tabah lalu merelakan."


Dan sesampainya kedua tanganmu membuka pandora kenangan itu,  hatiku telah terkunci rapat...

Balikpapan Di Ujung November



Lupa Cara Melupakan

Kei Naz (Lentera Merindu)


Di ruas bilangan jemari yang menghitung November.

Kau dan aku telah sepakat bahwa jika kelak waktu merampungkan kisah ini,  kita akan berusaha  sungguh menutup setiap lembaran dengan sempurna hinga tak ada satupun di antara kita yang akan merobeknya dan membiarkan setiap torehan terbaca banyak netra


Di batas ketiadaan yang kini mengusaikan kita.

Kau dan aku memilih hilang,  hanyut pada musim penghujan membiarkan gigil mengahantar deru pada kehilangan-kehilangan yang tak sanggup kita hentikan.


Lalu menempuh setapak demi setapak perjalanan melupakan

Membawa gaduh menuju penjuru sunyi tak berpenghuni

Menyalakan ungun pada mata yang lelah memadamkan jalaran api kebencian

Memeluk remuk  kepingan naluri


Hingga sepasang hati yang sempat terjalin menyadari,  bahwa yang benar-benar pergi sesungguhnya tak sepenuhnya menghilang.  Dan yang hilang nyatanya tak pernah pergi.

Balikpapan, 25 November 2019

Rindu yang utuh pada cinta yang rapuh.



“PEREMPUAN OKTOBER”

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Bagi sebagian orang, luka adalah nyeri yang harus segera disembuhkan. Entah dengan ditutupi agar tak menganga, atau dengan menelan sesuatu untuk menghilangkan nyeri.

Tapi bagimu, luka adalah perayaan yang kau nikmati setiap hentakan sakitnya, kau biarkan merah darah mengalir kental hingga aroma kepedihan menguar lalu kau hidu sebagai wewangian purba.


Tak kau hiraukan meski sekujurmu letih menahan lara. Kau jamu rasa sakit yang bertandang entah dengan secangkir kopi atau memutar lagu-lagu dengan irama nyeri.

"Adakah ini suatu kebodohan?" Entahlah.


Begitu rapi kau catat setiap torehan luka di tubuh rapuhmu. Seolah kau tak ingin melupakan muasal setiap sayatannya meski telah sembuh.

Angin menyiur membawa daun-daun gugur di beranda harimu.

Perempuan Oktober...


Semoga bisa kau kubur gambaran lukamu, sebab betapapun malang garis takdir yang kau genggam, asamu tak boleh hancur, hatimu segeralah pulih.

--------------

01/10/2020

Balikpapan



MERAWAT TABAH

Kei Naz / Lentera Merindu


Berhentilah memberi janji manis

Ketika hatiku lebih sering kau buat gerimis

Cukuplah kunikmati senganga luka yang kau beri

Tak ingin lagi hati menanggung pilu, menutupi wajah pasi


Sekiranya engkau telah menjadikan musim hujan sebagai pengingat diri

Akan kembali kubuka nyeri dari rintik yang tak henti menghunjam hati

Lalu kubiarkan seluruhku basah

Menikmati perih tanpa ingin menyudahi, seolah kepingan hati yang terbelasah telah menjelma tabah


Malam-malam sebelum kepergian itu

Aku sempat menyimpan sepotong senyummu

Tanpa sedikitpun merasa ragu

Bahwa kelak perpisahan menjadi goresan paling merah  di mataku.


Bahkan aku lupa bahwa purnama adalah satu dari sekian banyak cahaya

Yang menjadi saksi atas ikrar yang kau ucapkan serupa puisi  pujangga

Kegelisahan mulai kupahami semenjak hening menitikkan rinai di balik jendela kaca, menuntun jemariku menulis huruf-huruf namamu

Tak inginkah kau, sekali saja berbalik arah lalu menatap seraut wajah yang mencoba merangkai kerelaan dari kepingan kepedihan dan manisnya aksaramu


Tapi sudahlah,  karna hati yang kerap kau sakiti tak lagi mampu mengucap pinta apapun

Hanya lirih batin

Mengais lembaran permohonan untuk kemudian menulis

"Tuhan,  jika tak ada dia di lembaran takdirku,  kumohon cukupkan aku merawat ketabahan demi menjemput keikhlasan."

Balikpapan,  Penghujung November 2019



"PUSARA KENANG"

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Sepanjang musim-musim kehilangan

Ketabahan telah dipupuk waktu

Kepedihan seolah mengakar di pelupuk teteskan nyeri dari epitaf-epitaf kenangan


Bila darah adalah kata yang menitah jemariku mengguraikan makna luka

Mungkinkah barisan kalimat akan menjelma cerita tentang kita

Ataukah hanya sebentuk sajak yang tercipta

Bergejolak dari hati hingga ujung mata tinta


Kusanding bayang-bayangmu siang dan malam

Bercengkerama tentang mimpi-mimpi melayari samudera cinta

Namun takdir seolah tergesa-gesa menjemput

Memaksamu pulang dari tualang panjang


Kini aku menjadi sunyi yang bermuara pada nisan kenangan

Menjadi kembang tujuh rupa mewarnai singgasana diammu

Di sekat hati yang kau pagari janji

Kemanakah akan kulabuhkan cinta yang terlanjur kau tanam

----------------

Balikpapan 21 November 2020



“Semerah Luka”

Karya Kei Naz / Lentera Merindu


Seluruhku getir memohon padamu untuk tak beranjak.

Namun langkah sungguh angkuh menjejak.

Ranggas sunyi mulai membisik pilu.

Sebab kehilangan terasa ngilu.


Kenangan itu, Desember yang masih menjadikan rinai sebagai gigil.

Dada lebam kian jerit melaungkan namamu.

Di batas tiada, rasa menjadi-jadi.

Hingga jemari tak lagi sanggup membilang.

Entah kehilangan, entah hanya rintik yang berharap reda.


Sabit yang memunggungi kesedihan,

setengahnya menjelma kunang-kunang pada hati yang merindukan lentera.

Sedang di sini, aku meraba degup hati yang merambah sepi serupa laut merah menenggelamkan perahu harap.


Badai memang akan segera berlalu,

namun adakah penjuru kenang akan berhenti menabuh talu?.

Tak peduli pekik rampang memuncak.

Hingga rampung jalinan kasih, sungguh kisah kita berakhir sudah…



Sebatas Mimpi Berbatas Nyeri

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Sejenak aku merasa bahwa mencintaimu adalah perjuangan yang tak akan terhenti oleh apapun, dari titik mencintai tanpa alasan hingga selalu memberi tanpa balasan.


Kau adalah malam yang selalu ingin kupeluk erat seolah tak kuinginkan fajar segera datang. Ketika mentari terbit kau menjadi pagi yang selalu kusajikan dengan manis seperti seiris roti dengan selai nanas dan secangkir kopi hitam sedikit pahit. Kau ada di segala cuaca, penjuru ruang seperti kepingan-kepingan puzzle dalam hariku.


Dengan sungguh, kesetiaan kurajut rapi. Meski acap kali terluka, kepastian sebagai tujuan untuk membuatmu selalu bahagia, namun sebanyak apa aku mencintai, sebanyak itu pula mendulang nyeri. Perih tak terkira merajam hati. Cinta sejati akhirnya kau nodai.


Apa dayaku jika akhirnya perjalanan mencintai harus terhenti, persimpangan langkah membawamu entah kemana. Kesediaan diri untuk terus mendampingi hingga nanti tak terbukti. Kesakitan datang tanpa diundang.


Luka mencintai

Duka berkepanjangan

Rindu terberai

Aku kehilangan


Tak ada yang lebih pantas untuk memaknai hilangmu selain merelakan, tak ada cara yang lebih baik untuk merayakan kepergianmu selain mengikhlaskan.


Terbanglah, kepakkan sayapmu sesuka hati. Aku bukanlah hati yang kau inginkan.

Singgah dan rebahlah pada kuntum-kuntum wangi yang kau kehendaki.


Sepi kini melengkapi mimpi.Terbelenggu nyeri, lara hati terendam pilu, aku terbangun tepat di jarum waktu yang berhenti berdetak, segalaku patah karenamu…

---------------------

Balik Papan, 27 Juni 2020

Ruang Aksara



“Samar Menakar Gemetar”

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Merampungkan segala rasa, ruam sunyi rumpang di cabang-cabang asa..

Bukan puisi yang tak mampu membaca makna, namun ilusi seolah tak henti meratapi..

Jejak aksara mengutuk liang palung, durja menyelimuti atma..

Akara meragu, sunyi tergugu..

Hati mendekam terpenjara amuk, muak!


Sebuah luka, sakitnya menjejak abadi..

Menoreh perih tak terperi..

Menghitung detak waktu yang menjauhkan bayangmu, menyalakan unggun kebencian sebagai bara paling jalang..


"Apalagi yang kau inginkan?"

Seluruhku telah terbakar  janjimu, ini bukan abu kematian tapi setumpuk dusta cintamu..

Menggerogoti laraku hingga nadi..


Terbanglah kau sejauh bunga yang ingin kau tuju, sebanyak taman yang ingin kau singghi, kepakku telah patah seiring hati yang lelah..

Akupun bisa membenci pada kelopak kenangan tak bernyawa..


Biar kukemas malam dengan cemas, sebab air mata menghujaniku teramat deras, sebab dada kini hanya seonggok rasa tanpa nama, sebab asa cinta menjelma hati piatu..

"Betapa cinta dan dusta samar menakar gemetar"..

--------------

Balikpapan 2020



“Meretas Asa Melepas Rasa”

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Kisah kita mungkin usai namun tak usang

Ribuan langkah kujejak demi membawa rasa ini menuju lupa

Hari berganti menjamah musim-musim kehilangan

Hanya jarak tercipta di antara harapan yang kian patah

Hati ini, bagaimanapun retaknya masih saja mendaulat engkau sebagai tuannya


Rimbun pohon harap kini mulai runtuh terjatuh

Menghumus derai menjadi rindu tak tergapai

Tak ingin menyalahkan bayu, sebab waktu tak mengabarkan deru

Sejauh apa kau kukenang, sebanyak itu pula hati mendulang pilu


Merelakan sebuah kepergian

Kepadanya hujan terberai

Genangan melukis sketsa bulir kehilangan

Pada akhirnya pecah jua tangis yang tak terbendung lagi


Gigil ini menegaskan, betapa hujan adalah perayaan rindu berujung nestapa

Pucuk-pucuk basah, berkecipak riak kenangan menari di bawah derasnya

Dan sepasang tangan yang menggenggam sunyi tak lantas melepaskan, meski berkali-kali menyadari bahwa kau tak lagi kumiliki

Balik Papan hari kesepuluh Juli 2020



“HATI PALING BELATI”

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Sesekali aku ingin berhenti menulis tentangmu, sebab sadar bagaimanapun kutumpahkan rasa ini di secarik putih ruang pena, tetap saja bait demi bait yang tertuang tak mampu membuatmu berpaling singgah untuk melihat betapa berantakannya seisi hatiku yang dipenuhi segala hal tentangmu.


Abaimu, diammu bahkan tatap yang sedikitpun tak sudi kau titipkan padaku membuat luka-luka kian berantai mengurai derai.


Sesekali aku ingin berhenti mengayuh rasaku menuju labuhan rasamu, membiarkan langkah ini sekarat hingga mencintaimu tak lagi berat saat sadar bahwa dermaga yang ingin kutuju terlalu jauh untuk kutempuh. perjalanan mencintaimu membuat palung jiwaku melepuh.


Sesekali aku ingin berpaling lalu melapang dada, membiarkan sketsa mimpiku menjadi buram. Sebilah asa tak lagi sanggup menopang rasa yang kian remuk, seolah liang ketiadaan menggali kematian untuk rindu-rindu yang terbiar.


Hanya sesekali, karna setelahnya berkali-kali aku tetap menguntai aksara cinta di penggalan sajak harap untukmu.

Aku tetap melaju derap menuju saung hatimu meski tertatih dan berdarah, dan terus menatapmu dengan hati paling belati…

Balik Papan, 27 Juli 2020



“HILANG GENGGAM”

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Duhai sebuah nama

Berbahagialah, hujan semalam masih menyisakan rintik yang akan membuatmu lelap

Biarlah di sini aku gigil asal kau tak gagal merenda harimu

Benar bahwa cinta tak harus memiliki

Sebab kini aku sendiri lalui malam tanpa cahaya matamu


Aku tak mampu membakar kenangan kita

Aku hanya bisa membasahinya dengan air mata

Menumpahkan linang kerinduan bersama ribuan kata

Menjadikan kau puisi paling gulita


Ingin kupeluk erat lupa, namun nyata hati kian kuat mengenggam ingat

Ingin kulepas seutas kenang, tapi simpul ikat mengikat semakin kuat

Tercatat namamu tak hanya di beranda rasa

Sempat melangit menuju cakrawala pinta

Lalu selembar takdir kubaca dengan hati berserakan "kau bukan untukku"


Kini malam-malamku muram

Terjerembap durja kelam

Bagai jiwa hilang genggam

Terdiam

Lebam…

Balikpapan, 19 Agustus 2020



“MENYERAH”

Oleh Kei Naz / Lentera Merindu


Ketika hati tak lagi sanggup menahan perihnya  luka-luka di tubuh cinta yang kerap kau sayat, aku memilih mundur, sekalipun langkah ini membuatku hancur.


Membuta tuli aku membersamai langkahmu dengan ketulusan, ikhlas menapaki terjalnya perjalanan, namun kau semakin tak punya hati, berulang kali memberi sakit yang sama. Ketika rinai belum reda membasahi pelupuk, lantas kau hunjam aku dengan tikaman belati dusta. Sungguh bagai luka di atas luka.


Harapanku tuk merengkuh bahagia di sisimu kian renta termakan usia, biarlah kini kurajut benang-benang kerelaan meski dengan jemari hati bersimbah darah kepiluan. Biarlah semua kisah ini berakhir perih.

Atas nama cinta, aku menyerah.

------------

Balikpapan 25 September 2020



Quote Cinta Oleh Kei Naz

"Kita hanyalah bilangan jarak yang menghitung kesetiaan dalam skala paling tinggi. Jika satuan rindu adalah kau, sedang pecahan sendu yang tak bisa disederhanakan oleh waktu adalah aku, bisakah kita tetap saling menggenapi meski pada akhirnya rasa ini berbilang ganjil."


***
Demikian puisi karya Kei Naz yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini. 

(Catatan Penutup)

Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Sampah Kata Seniman Bisu
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi

Post a Comment