Melepasmu Cerpen Romantis Sedih Karya Sil Sila Yusuf
Cerpen "MELEPASMU" Karya Sil Sila Yusuf
Bila kamu di
sisiku
hati rasa
syahdu
Satu hari
tak bertemu
hati rasa rindu
Penggalan lagu Roma Irama kau putar di depanku sembilan tahun yang lalu saat pertemuan kedua yang sekaligus menjadi akhir tanpa rencana.
Sore itu, kita duduk di kursi yang terbuat dari batu asli sambil menyaksikan ombak berarak mendekati pantai. Kau tersenyum malu-malu. Memegang tanganku tidak biasa. Kubiarkan. Pandanganku tetap lurus ke depan.
"Aku sangat mencintaimu," ucapmu seraya mencium punggung tangan yang telah kuolesi sples sebelumnya. Kau membuang napas perlahan.
"Aku ingin kita menikah." Kali itu aku beralih menatapmu. Mencari benar di matamu.
"Aku tidak sedang membual," lanjutmu, meyakinkan. Aku masih membungkam. Ragu untuk mengiakan.
Angin semakin kencang. Kerudungku tertiup menampar-nampar. Aku kembali melihat lautan dan buih yang dibawa gelombang ke tepian.
"Bulan ini aku akan melamarmu." Aku diam. Merasakan beban berat di hatimu seperti hempasan badai. Aku tak merasakan kebahagiaan dalam setiap ucapanmu sore itu.
"Percayalah!" Kau mengeratkan genggaman atas tanganku, seakan tak ingin terlepas dan dihempas. Aku masih bertahan untuk bungkam. Tak tahu harus sedih atau senang. Hatiku merasakan sakitnya perpisahan.
"Apa yang kau pikirkan?" tanyamu. Barangkali sadar, aku tak bersikap wajar. Dadaku berdebar-debar. Ingin kukata apa yang mengganjal di kepala. Tapi tak bisa. Bibirku bahkan semakin merapat. Tak mau ada yang terungkap. Tentang kecemasan akan kegalauanmu yang kau simpan semaumu. Tentang senja yang datang dan matahari yang tenggelam.
"Baiklah, ayo kita pulang!" ajakmu dengan jari-jari tetap mengait jemariku. Aku mengangguk. Mengikutimu hingga pagar bambu rumahku terlihat.
"Aku pulang" Matahari melambaikan tangannya sebelum kembali ke peraduan. Aku melangkah memasuki halaman rumah. Sepi. Barangkali Emak menyambangi nenek di rumah sebelah.
Aa...ii...ee.. Hp mungilku tertawa di genggaman. Kulihat namanya Ahsanku. Aku tersenyum getir sambil menekan tombol berlogo telpon genggam.
"Ya," ucapku mengawali.
"Aku
rindu," katamu.
"Secepat
itu kah?," tanyaku pura-pura, padahal aku merasakan rindu yang sama meski
baru saja kita bertemu.
"Entahlah, aku merasa tidak ada yang berkurang dari rindu, bahkan saat bersamamu, aku masih rindu"
Ada yang
berdesir di dada. Berdenyut lebih cepat dari nadi. Ada cinta yang menggelora
dalam diri.
"He..."
aku tersipu sendiri. Rayuanmu menghangatkan hati.
"Ya, sudah, gitu aja, kita shalat, sudah adzan," katanya mengakhiri. Sesuatu masih berdesir lembut dalam diriku sebelum sesuatu yang lain datang mencipta kecemasan. Takut kehilangan.
Dari berbagai arah, terdengar lantunan shalawat dan dzikir setelah adzan dikumandangkan. Aku segera bangkit ke kamar mandi yang terletak di sisi kiri dapur. Menyisir sunyi yang tak pernah asing bagi anak tunggal dari seorang ibu yang ditinggal mati suaminya.
Di rumah kecil ini aku tinggal berdua dengan emak. Kadang emak menginap di rumah nenek jika sewaktu waktu lambung nenek kumat, dan aku harus tidur sendirian dengan ditemani buku bacaan pemberian bibi kesayangan. Seperti malam ini. Aku menikmati sepiku.
☆☆☆
Selepas
shalat, kuraih gawai di atas bantal, barangkali ada pesan atau panggilan yang
terhutang.
"Din ku, mau kah kau pergi bersamaku? Menikah denganku di pulau jawa. Hidup bersama menghadapi suka duka berdua. Seperti impian kita." Pesan pertama di kotak masuk. Hatiku mulai bergejolak. Bertanya-tanya dan menerka-nerka. Sesuatu terjadi kepadanya.
"Aku
bingung, Din. Aku sangat menyayangimu, aku ingin memilikimu, tapi..."
Angin dan gelombang saling tikam menjadi badai, menghempasku perlahan ke tepian. Sesak tiba-tiba. Dadaku lebih padat dari jalan kota.
"Ibuku tak menginginkannya. Aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin meninggalkanmu, orang yang aku perjuangkan sejak delapan tahun lalu. Aku tidak mungkin melupakan cintaku ..." Tanganku yang kiri meremas jari-jari. Mencari kekuatan di setiap sudutnya. Tapi nihil. Ada yang jatuh melewati pipi.
"Aku harap kau bersedia kawin lari. Malam ini aku akan menjemputmu. Kita akan menikah di rumah saudaraku yang di Jawa. Kita akan bahagia di sana."
Aku berhenti sejenak, menarik napas dan melepasnya di udara. Kucoba menguatkan hati. Mencari solusi dalam diri.
"Ahsanku, aku pun demikian mencintaimu. Sangat mencintaimu dan akan selalu begitu. Tapi perihal kawin lari, aku minta maaf, apapun alasannya, hatiku tak mengizinkan," ketikku di gawai mungil pemberian bibi satu tahun sebelumnya.
Hatiku sakit. Sakit sekali. Bagaimana bisa aku mencintaimu selama bertahun-tahun, pada akhirnya harus kuakhiri begitu saja. Aku tak terima. Tapi aku bisa apa. Jika orang tuamu tidak merestui. Kau harus tahu, aku bukan pengecut. Cintaku tak sebanding dengan cinta orang tuamu. Aku tidak bisa lari memenuhi ajakanmu. Itu sangat melukai ibumu dan ibuku. Biarlah kita saja yang luka. Biarlah kita saja yang kecewa. Jika Tuhan tak menghendaki kita bersama. Tak baik juga pada akhirnya.
"Kenapa kamu begitu? Aku ingin memperjuangkan hati kita. Kenapa kau menyerah? Apa kau tak mau hidup bersamaku?" Kali ini pesanmu membuatku hancur. Cintaku seperti dibawa lari oleh waktu. Aku tak mampu mempertahankan sebab egoisku. Aku sangat tidak bisa menyakiti orang tuaku dan kamu. Sungguh ini bagai makan buah simalakama.
"Bukan begitu, tapi aku ingin bersamamu tidak hanya di dunia, aku ingin kita bersama di surga, Ahsanku," balasku akhirnya.
"Kau tahu, aku sakit dengan kata-katamu. Aku luka. Tapi bagaimana dengan orang tua kita, mereka akan lebih hancur jika kita kawin lari"
"Kita tidak boleh egois. Hati mereka lebih patut kita jaga. Aku bukan siapa-siapa untukmu dibanding ibumu"
"Kumohon, lupakan apa pun tentangku. Temukanlah perempuan lain, yang sesuai keinginan ibumu. Itu akan lebih baik. Aku juga akan belajar merelakan, betapa pun sulitnya." Air mata mengalir sangat deras. Merasakan sesuatu pergi dari dalam diriku. Seakan mencambukku bertubi-tubi dari segala sisi. Aku sembunyikan kepala di bawah bantal. Berteriak melepaskan sesak dadaku seakan dipasak.
Sungguh, ini tidak mudah bagiku. Kau telah lama menghuni hatiku. Bagaimana aku bisa membuang bayangmu. Aku ingin berlari, tapi kemana? Wajahmu ada dimana-mana. Bayangmu begitu nyata terasa.
Aa ... ii
... ee ...
Berkali-kali panggilan kuabaikan. Bukan sebab benci. Tapi aku ingin lari dari kenyataan. Aku belum siap kehilangan. Aku tak ingin keputusanku berubah setelah mendengar suaramu. Aku tak mau mendengar tangismu. Aku tak ingin kau tahu lukaku.
Nada panggilan di gawai terus saja berbunyi hingga pukul satu dini hari. Saat itu aku mulai merasa lebih tenang. Kuberanikan diri menerima panggilanmu meski dengan mulut terkatup. Tak mampu menjawab setiap tanya dan pernyataanmu yang menampar-nampar rasaku.
"Din, keluarlah, kumohon temui aku sebentar saja. Setelah itu, kau boleh meninggalkanku." Aku segera berlari menyingkap tirai jendela. Melihatmu di depan pagar. Tertunduk dengan mata berkaca-kaca. Hatiku kembali tertikam.
Cahaya lampu remang-remang di halaman. Engkau seperti kabut di antara mega. Ada yang tersayat di sana. Di dalam jiwamu, lelakiku.
Cukup lama aku menimbang. Antara keluar atau sembunyi di balik tirai. Tapi akhirnya aku berlari ke arahmu. Menghentikan langkah yang kalap. Ingin memelukmu erat. Namun, kewarasanku tiba-tiba membuat sekat.
Duhai, aku ingin teriak melihatmu membentangkan kedua tangan. Aku ingin berhambur, tapi hatiku sakit mengingat ini pertemuan terakhir antara dua orang yang saling mengasihi. Air mataku tumpah. Dadaku sesak. Sekali lagi aku tak kuasa menahan luka. Melihat senyummu penuh duka.
Maafkan aku,
hanya itu yang terucap. Lalu aku berputar meninggalkanmu yang entah. Aku pergi
membawa lukaku. Kuharap kau pun tak lagi mengharapkanku. Sebab aku hanya ingin
pernikahan yang diridlai semua anggota keluarga. Sekali lagi maafkan aku,
Ahsan.
Sumenep, 6112020
***
Demikian cerpen karya Sil Sila Yusuf yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Post a Comment