Karam Dalam Karma Cerpen Ilyas One (Slice of Life)
KARAM DALAM KARMA (Cerpen Ilyas One)
Genre : Slice of Life
#Cerpen_Anniversary
"Maaf, Bu. Aku harus pergi, Ayah memintaku untuk
kembali sebelum malam," pamit Dinda setelah menyuapiku makan.
Aku menatap manik mata teduh itu dengan penuh cinta. Dia
Dinda, anakku dengan Mas Dani. Sekarang dia tumbuh dengan baik dan menjadi
perempuan yang tangguh namun lembut.
"Tidak bisakah kamu menginap satu malam saja, menemani
Ibu?" pintaku memelas meminta belas kasihan anak kandung sendiri. Dia
memejamkan mata dan mendesah berat, aku masih menatapnya dengan harapan dia
menerima tawaranku barusan.
"Maaf, Bu. Aku benar-benar harus pergi," tegasnya
kemudian yang membuat harapanku kembali pupus. Dia bangkit dari tepi ranjang
usang, kemudian beranjak pergi meninggalkan aku dalam keheningan.
Beberapa menit kemudian terdengar bunyi mobil dan kemudian
kembali sunyi. Dia telah pergi, anakku, dia tidak bisa menerimaku.
Dinda memang setiap hari kesini untuk menjengukku. Dia
sering membawakan aku makanan, karena aku tidak sanggup lagi untuk memasak.
Dia merawatku dengan baik, walaupun tangan ini tidak pernah
membelainya. Tapi dia melakukan semuanya dengan tulus.
Aku mencoba memejamkan mata dalam keheningan panjang,
berharap dijemput oleh kematian. Sudah terlalu banyak kepahitan yang aku telan
sendiri, aku lelah.
Terlintas bayangan masa lalu yang setiap malam menghiasi
malam sepiku.
"Aku mohon, Dira. Jangan pergi! Anak kita masih terlalu
kecil untuk kamu tinggalkan," pinta Mas Dani dengan memegang tanganku.
"Nggak, Mas. Keputusanku sudah bulat, aku harap kamu
tidak menghalangiku kali ini," ketusku. Tanpa memperdulikan Isak tangis
Mas Dani yang menggendong Dinda, aku terus saja memasukkan baju ke dalam koper.
Kala itu keputusanku sudah bulat, aku akan pergi dari rumah
kumuh dan mencari kebahagiaan sendiri diluar sana.
"Tapi bagaimana kami bisa hidup tanpa kamu? terutama
Dinda. Dia masih butuh kamu, Dira!" bujuk Mas Dani lagi sambil menenangkan
Dinda yang kini sudah menangis melihat kami bertengkar.
Aku menatap Dinda kecilku, anak yang malang. Dia harus hidup
di keluarga miskin dan sekarang harus kehilangan aku, Ibunya.
"Aku janji, aku akan bekerja lebih keras lagi biar kamu
dan Dinda tidak kekurangan apapun. Tapi aku mohon, jangan pergi," mohon
Mas Dani lagi. Kini air mata sudah membasahi pipi tirusnya.
Baru kali ini aku melihat mas Dani menangis. Mungkin dia
sedih karena akan segera kehilangan pembantu gratisnya ini.
"Udah berapa kali kamu berjanji seperti itu, Mas? Kamu
nggak akan bisa bahagiain aku sama Dinda. Pemulung kayak kamu itu mimpi dulu
baru kaya!" hinaku sambil menunjuk ke arah wajahnya.
"Bayangkan, Mas. Sudah tiga tahun kita menikah, pernah
nggak sekali aja kamu belikan aku baju bagus? Pernah nggak kamu belikan aku
sepatu atau tas? Atau nggak usah mahal-mahal deh, pernah nggak kamu ngajak aku
makan enak di luar. Kayak keluarga umum lainnya?" tanyaku bertubi-tubi.
Mas Dani hanya bisa terdiam sambil mencium Dinda yang masih dengan isaknya.
Tubuh ringkih itu memeluk Dinda yang takut karena aku
bersuara lantang.
"Aku pikir ya, Mas. Menikah dengan kamu yang
mencintaiku itu pilihan yang tepat, ternyata aku salah tau nggak? Aku capek,
aku lelah!" ucapku lagi sambil menarik koper yang berisi baju.
Kuseret koper usang dengan susah payah, karena trolinya
sudah rusak. Tidak ada Mas Dani di belakang, dia tidak mengejar atau
menghentikan.
Baguslah, akhirnya dia sadar jika aku tidak bisa hidup lagi
dengannya.
Yang terdengar hanya tangisan Dinda yang terus menerus
memanggil namaku. Dia menangis histeris, meminta turun dari gendongan Ayahnya.
Kupercepat langkah agar secepatnya sampai ke lorong rumah.
"Kamu udah siap?" tanyanya lembut.
Kubalas pertanyaannya dengan anggukan manja, dia tersenyum
dan mengambil alih koperku dan menaruhnya di bagasi belakang mobil.
"Ibuuuu…."
"Ibu tunggu Dinda, Bu. Dinda ikut Ibu," teriak
Dinda yang membuatku tersentak.
Dia mengejarku, dan terlihat Mas Dani mengejar Dinda dari
belakang. Umurnya yang masih dua tahun, membuat langkah kecilnya kalah dengan
Mas Dani.
Dinda terus memberontak dalam dekapan Mas Dani, dia menangis
dan melambaikan tangannya ke arahku. Dia berharap aku mau kembali dan
menggendongnya seperti biasa.
"Kamu mau terus disini atau ikut denganku?" tanya
laki-laki yang kini sudah berada di dalam mobil. Dia mantan pacar yang kini
hadir kembali dalam hidupku.
Dia menjanjikan aku kehidupan yang lebih layak dari hidup
yang kujalani sekarang.
"Dira, setidaknya peluklah Dinda atau ciumlah dia
sebelum kamu pergi dari sini," pinta Mas Dani yang terus saja memeluk
Dinda.
"Kalau aku lakukan itu, dia akan susah melupakan aku.
Biarlah dia terbiasa tanpaku, anggap saja aku sudah tiada."
Setelah mengatakan itu, aku langsung masuk kedalam mobil dan
menutup pintu.
Dengan cepat, Roni menstarter mobilnya dan melajukan dengan
kecepatan sedang.
Dari spion mobil, aku dapat melihat Dinda yang terjatuh
berkali-kali karena mengejarku.
Tes.
Aku kembali menangis mengingat semua kejadian dan perlakuan
burukku pada Mas Dani dan Dinda.
Setiap malam bayangan tentang keegoisanku menari-nari dalam
bayangan.
Tuhan, tolong jemput aku. Jemput rasa sakit ini, biarlah
kenangan buruk masa lalu terhapus oleh waktu. Aku tidak bisa membahagiakan
mereka, tapi setidaknya jangan buat aku menjadi beban.
Bertahun-tahun setelah aku meninggalkan mereka, Mas Dani
sukses menjadi Bos yang mengolah bahan bekas. Dia sekarang juga sudah mempunyai
istri yang Sholeha, yang bisa membimbing Dinda.
Sedangkan aku?
Aku hanya menjadi patung pemuas nafsu Roni, dia menjualku
untuk mendapatkan uang. Pernikahan yang dia janjikan hanya angin surga belaka,
semuanya palsu.
Tuhan, jika bisa aku meminta. Tolong kembalikan aku pada
waktu dimana Dinda masih menjadi anakku dan Mas Dani masih menjadi suamiku.
Aku akan taat dan patuh pada imamku. ***Tamat.
***
Demikian Cerpen Ilyas One yang dikirim oleh penulis untuk dimuat dalam web ini.
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Penulis Amatiran Dari Pinggiran
Secarik Ocehan Basi Tak Lebih Dari Basa-Basi
Post a Comment