Bubur Singkong Cerpen Ramli Lahaping
Cerpen Bubur Singkong Karya Ramli Lahaping
Daya perekonomian yang pas-pasan tak membuat Santi berat
tangan. Ia seperti tak mau menjadikan kemiskinan sebagai alasan untuk berlaku pelit.
Ia selalu sedia berbagi dengan apa yang ia punya. Ia tak pernah absen sebagai
penyumbang untuk setiap program sosial-keagamaan atau pembangunan fasilitas
publik, meski urunannya tentu sesederhana isi dompetnya.
Atas kemurahannya pula, pada bulan puasa ini, Santi tampak
antusias untuk berderma dengan kepunyaannya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ia
akan kembali ambil bagian dalam menyediakan hidangan berbuka untuk para warga
di masjid dusun. Ia akan membawa takjil terbaiknya, yang ia nilai berkelas dan
digemari orang-orang sebagai pelepas lapar dan dahaga.
Namun sejalan dengan kelemahan ekonominya, hidangan Santi hanyalah
penganan sederhana. Dahulu, ketika kebanyakan orang membawa kue bolu, es buah, bahkan
nasi kotak, ia hanya membawa jagung rebus, kolak pisang, atau bubur kacang
hijau. Ia hanya menyediakan makanan dengan bahan yang berasal dari tanamannya pada
lahan sempit di belakang rumahnya.
Karena itulah, banyak orang yang memandang rendah hidangannya.
Meski tak ada yang secara lancang menghina, tetapi mereka tampak kurang
berselera. Paling tidak, aku pun menyaksikan kalau orang yang datang menyantap
sajiannya, jauh lebih sedikit ketimbang sajian warga lain. Yang terlihat jelas adalah
kurangnya anak-anak yang memeriahkan setiap acara bukanya.
Demikianlah kenyataan yang terjadi. Orang-orang tampak
menganggap sajian terbaik versi Santi sebagai sajian yang sangat biasa. Tetapi
ia terlihat tidak merisaukan keadaan atas penilaian itu, dan tidak kehilangan
semangat untuk berbagi. Ia terlihat sama sekali tak berkecil hati atau rendah
diri menyaksikan suasana yang tidak semarak ketika ia menggelar hidangannya di
teras masjid.
Kadang-kadang, aku merasa kalau Santi sebaiknya menjual saja
hasil bercocok tanamnya untuk mendapatkan ongkos bagi kepentingannya sendiri,
tanpa perlu menjadi peserta pembawa hidangan berbuka. Atau jika ia berkeras,
selayaknya ia membawa sajian ala kadarnya. Apalagi, memang tak ada paksaan untuk
turut, dan tidak ada standar perihal menu bawaan.
Kukira, pandanganku beralasan, sebab Santi tampak masih
kewalahan memenuhi kebutuhan dasarnya. Terlebih, sebagai seorang janda tua
tanpa anak, ia tak bisa menggantungkan pembiayaan hidupnya pada
siapa-siapa selain pada hasil keringatnya sendiri sebagai buruh tani yang kerap
bekerja memanen buah tanaman di kebun warga yang lain.
Tetapi karena dasarnya pemurah, Santi tetap semangat untuk
ikut menyediakan sajian buka puasa. Bahkan jauh-jauh hari, aku telah tahu kalau
ia sudah mengancang dan mempersiapkan menunya. Enam bulan yang lalu, ia telah
menyetek batang singkong di dekat rumahnya, dan ia mengaku akan menjadikannya
sebagai bahan hidangan berbuka pada momen puasa tahun ini.
"Wah, Ibu menanam singkong, ya? Apa Ibu tak menanam
kacang hijau lagi?" singgungku waktu itu, dengan maksud berbasa-basi untuk
mengesankan keramahanku sebagai tetangga.
Ia pun melayangkan senyuman bersahaja. "Ya, untuk
sekarang, aku tanam singkong. Umbinya kan laku juga kalau dijual di pasar.
Daunnya juga bisa dimasak jadi sayur."
Aku hanya balas tersenyum.
Ia kemudian tertawa pendek dan menuturkan maksud khususnya
sendiri, "Apalagi, aku ada niat membuat hidangan berbuka yang berbeda untuk
para warga pada bulan puasa mendatang. Kalau sebelum-sebelumnya aku membawa penganan
berbahan pisang dan kacang hijau, puasa nanti, aku ingin membuat penganan dari singkong,"
katanya, dengan raut ceria, sebagaimana tampakannya selalu.
Seketika pula, aku terkagum mendengar rencananya.
"Ah, Ibu benar-benar perhatian. Jauh-jauh hari sebelum puasa, Ibu sudah
memikirkan menu yang akan Ibu sajikan untuk orang-orang," pujiku,
membesarkan hatinya.
Seolah tersanjung, ia pun tersenyum lepas. "Kita memang
harus berusaha memberikan yang terbaik untuk orang lain."
Aku mengangguk-anggukkan saja maksud dan tujuannya.
Akhirnya, sejak saat itu, aku mengerti kalau Santi memang
seorang yang begitu berhasrat untuk berbagi, termasuk dalam momen berbuka puasa.
Aku pun memahami kalau tak ada yang bisa merintangi kehendak kerasnya itu selain
kematian.
Atas kenyataan itu, pada bulan puasa tahun ini, aku makin mencemaskan
Santi. Aku khawatir kalau saat gilirannya membawa hidangan, orang-orang makin
tak mengacuhkannya. Jika bulan puasa yang lalu ia menyajikan kolak pisang dan pengunjungnya
terbilang sedikit, maka kini, kukira akan tambah minim. Itu karena singkong
merupakan tanaman yang umum bagi warga, sehingga mereka pasti sudah terbiasa,
bahkan bosan untuk memakan penganan dari singkong.
Merujuk pada pembagian jadwal pembawa takjil yang
berdasarkan kedekatan rumah, bersama Santi, memang akan ada dua ibu rumah
tangga lain yang menyiapkan hidangan berbuka. Tetapi keduanya tak jauh berbeda
dengan Santi dalam soal ekonomi. Keduanya hidup sederhana dengan suami yang
masing-masing bekerja sebagai buruh bangunan dan penyadap nira aren.
Dengan keadaan itu, kebersamaan mereka tidak akan membuat
menu buka puasa Santi jadi lebih bergengsi dan berwarna dari yang lalu-lalu.
Terlebih, seperti sebelumnya, sebagai sosok yang tertua, Santi jualah yang akan
menentukan menu utama mereka, dan ibu-ibu lainnya hanya akan manut, lantas
menyiapkan hidangan yang sifatnya pelengkap.
Benar saja. Dua hari yang lalu, aku pun mendengar kabar kalau
Santi dan kelompoknya akan membawa hidangan pokok berupa bubur singkong, yaitu
potongan-potongan umbi singkong yang dimasak dengan larutan gula merah,
ditambah daun pandan dan garam. Sebuah hidangan yang familier bagi warga, sebab
bahannya mudah didapat dan cara membuatnya tidaklah sulit.
Karena itulah, kepedulianku makin bertambah untuk Santi.
Dengan menu tersebut, aku yakin kalau makin banyak warga yang tidak berselera
untuk datang berbuka bersama dan menyantap sajiannya di masjid. Apalagi, aku telah
mendengar-dengar sendiri celotehan anak-anak yang merendahkan dan menyepelekan
hidangan sederhananya itu.
Akhirnya, dua hari yang lalu pula, aku menghubungi anakku
yang merupakan seorang karyawan di perusahaan perminyakan milik negara. Ia sudah
lama menanyakan kepadaku kalau-kalau ada persoalan di kampung kami yang butuh
sumbangan materi. Dan kupikir, sudah tepat jika ia berdonasi untuk membantu
meramaikan acara buka puasa Santi dan kelompoknya.
Sampai akhirnya, kemarin, berbekal uang dari putraku itu, aku
pun memesan nasi kotak dengan lauk ayam goreng di sebuah rumah makan ternama.
Aku ingin mengikutkan hidangan tersebut pada momen buka puasa Santi dan
kelompoknya, sembari berharap para warga datang berbondong-bondong untuk
bersantap. Kalau begitu, aku yakin Santi akan merasa senang.
Dengan cepat, kabar-kabar kemudian menyebar di tengah warga
kalau keluargaku akan turut membawakan hidangan berbuka, dengan sajian berupa
nasi kotak. Sebuah menu yang kukira terbilang mewah bagi banyak orang.
Sangkaanku pun benar. Berdasarkan laporan anak bungsuku yang
mengantarkan hidangan keluarga kami itu ke masjid, banyak warga yang datang
untuk berbuka. Meski aku tak ikut menyaksikan keramaian tersebut akibat reumatik
yang tiba-tiba melumpuhkan kakiku, tetapi aku bisa membayangkan kegembiraan
Santi dan kelompoknya atas keterlibatanku.
Akhirnya, dengan kebanggaan diri, pagi ini, aku duduk di
balai-balai depan rumahku sekian lama. Aku menanti-nanti Santi keluar dari
rumahnya yang bersebelahan serong dengan rumahku, yang kukira akan melayangkan
senyuman atau bahkan mengucapkan terima kasih kepadaku. Jikalau begitu, aku
akan benar-benar senang telah berhasil menyenangkan perasaannya.
Tetapi kenyataan yang kusaksikan, malah sebaliknya. Santi
keluar dari balik pintu rumahnya dengan rona wajah yang muram. Ia lalu berdiri
di teras depan kediaman sederhananya itu, lantas memanggil-manggil ayam dan
anjingnya. Ia kemudian hanya terus memerhatikan kawanan binatang peliharannya
yang sigap melahap pakan yang ia tumpahkan dari sebuah baskom. Ia seolah merasa
tak perlu lagi memandangiku dan menyahutiku seperti kebiasaannya
kemarin-kemarin.
Karena merasa ganjil, aku pun memutuskan untuk melangkah
mendekatinya, lantas menyapanya lebih dahulu, "Hai, Bu."
Ia pun mengangkat wajahnya dan melihatku dengan pandangan
mengerling. Tetapi ia lekas pula berpaling dengan raut sinis. Ia lalu cepat-cepat
berbalik badan, lantas menghilang ke dalam rumahnya setelah menutup pintu
keras-keras.
Seketika pula, aku bertanya-tanya. Sampai akhirnya, aku
melihat tumpukan potongan-potongan umbi singkong berwarna merah yang tengah
dilahap dua ekor anjing dan belasan ekor ayam.***
Profil Singkat Penulis
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis di blog pribadi. Instagram @ramlilahaping***
Demikian Cerpen Karya Ramli Lahaping dengan judul Bubur Singkong.
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Post a Comment