Eps 10 Siasat Novel Bidara Bukan Bidara Season 2 Oleh Rita Mayasari
Table of Contents
Pagi itu begitu teduh, matahari bersinar lembut. Bahkan ditaman belakang rumah dihiasi kupu-kupu yang berterbangan. Kicau burung bersahutan seakan tak ingin kalah menemani pagi Bidara dengan secangkir teh hijau ditangannya.
Bidara tenggelam dalam fikirannya yang melanglang buana. Ia memikirkan bagaimana caranya agar ia tidak bertemu ibu mertuanya, meski hanya untuk seminggu saja. Ia butuh waktu untuk menata emosinya kembali.
Namun ia yang tak pernah meninggalkan rumahnya untuk waktu yang lama, hingga ia hampir menyerah dengan keinginannya. Sembari membuka grup penulis diponselnya, ia membaca tulisan dari teman-teman penulis yang berbagi ilmu tentang apapun yang berhubungan dengan tulisan, cara menulis dan kiat-kiat menjadi penulis yang baik.
Hingga ia berhenti pada tulisan yang berjudul "liburan, hiburan, tulisan dalam satu nyawa" yang ditulis oleh seseorang dengan nama pena Black Rose. Ia menuliskan tentang hobinya menulis dan traveling. Ia mendapatkan hiburan dari liburannya dengan rangkuman tulisan-tulisan tentang segala hal yang ia lihat diberbagai tempat.
Ada banyak hal yang terlihat jauh berbeda ketika seseorang melihat langsung berbagai hal dengan yang hanya kita lihat melalui internet.
Bidara tersenyum, terlintas sebuah ide didalam benaknya.
Ia bergegas menuju kamar, setelah ia mengirimkan pesan singkat kepada suaminya.
Ia langsung berdandan rapi, mengenakan long dress bewarna hitam dengan blazer berwarna coklat susu dengan motif salur berwarna senada dengan long dress yang ia kenakan.
Hijab hitam polos menambah cerah wajahnya yang putih bersemu merah muda. Untuk beberapa saat ia mematutkan diri didepan cermin, berputar-putar lalu ia tersenyum malu sendiri.
Ia berusaha berpenampilan sebaik mungkin, agar mood Ammar menjadi lebih baik saat bertemu nanti.
Disisi lain, didalam ruang kerjanya, Ammar mengerutkan keningnya sesaat setelah membaca pesang singkat dari sang isteri dilayar ponselnya. Bidara bukanlah tipe wanita yang senang memberi kejutan manis dengan datang tiba-tiba ke kantornya. Tapi hari ini, Bidara tiba-tiba bilang ingin datang ke kantornya. Ada sedikit kekhawatiran dihati Ammar.
Namun ia tak ingin bertanya, karena khawatir Bidara menjadi salah faham dengan mengira ia tak ingin Bidara datang. Sehingga ia hanya membalas dengan sebuah kalimat " ya sayang, datanglah, aku tunggu.. hati-hati dijalan" dengan sebuah emoticon pelukan diakhir kalimatnya.
Hampir satu jam ia menunggu kedatangan sang isteri dengan fikiran yang campur aduk. Ia takut Bidara masih membicarakan perihal keinginan ibunya yang ingin ia berpisah.
Suara ketukan pintu menyadarkan Ammar dari lamunan. Terlihat sekretarisnya membuka pintu, dan di belakangnya tampak sosok wanita yang sangat ia cintai melangkah dengan senyum manis yang begitu jarang ia perlihatkan.
Setelah Bidara masuk, sekretarisnya membungkukkan badan dan menutup kembali pintu ruangan Ammar.
Ammar berdiri dan berjalan ke arah isterinya yang justru mematung sembari menghirup dan menghela nafas panjang. Hal tersebut tentu saja tak luput dari pandangan Ammar. Setelah mereka saling berhadapan, Bidara menyalami dan mencium punggung tangan suaminya.
Ammar meraih pundak isterinya dan menggiringnya berjalan menuju sofa.
Setelah Bidara duduk, Ammar mengambilkan sebotol air mineral untuk Bidara.
"Apakah ada yang menggangg fikiranmu Dara?
Tidak biasanya kau menghampiri suamimu yang tampan ini ditempat kerja" seloroh Ammar yang membuat jantung Bidara berdegup lebih kencang.
Bukan karena debaran cinta khas anak remaja, melainkan karena ia bingung bagaimana memulai pembicaraannya. Sepanjang perjalanan tadi Bidara bahkan berlatih dengan hafalan kalimat yang akan ia ucapkan saat didepan suaminya.
Bidara menghela nafas panjang sesaat setelah ia menelan seteguk air mineral dari suaminya. Kemudian ia mulai bicara dengan hati-hati "Hmmm.. aku kehilangan ide untuk melanjutkan tulisanku. Terlalu banyak hal yang aku fikirkan belakangan ini.
Aku merasa lelah meskipun tidak melakukan apapun". Ammar tetap diam demi mendengar apa yang akan diucapkan Bidara selanjutnya. Namun fikirannya berkelana tanpa mampu ia kendalikan. Ammar khawatir isterinya stress karena tekanan dari ibunya.
Ia sibuk menerka-nerka apa inti dari maksud isterinya. Waktu terasa melambat karena Bidara yang diam sesaat. Tiba-tiba saja Bidara menggenggam tangan suaminya dan melanjutkan ucapannya " Bolehkah aku istirahat sejenak?". Ammar menjawab dengan cepat " tentu saja dara, kenapa kamu perlu bertanya? Jika lelah, istirahatlah, jika kau ingin pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan, taman hiburan, atau liburan, aku selalu siap menunda semua pekerjaanku untukmu".
Tanpa sadar Bidara membulatkan matanya. Ia sama sekali tidak mengira reaksi Ammar akan seperti itu. "Si gila kerja ini ingin menunda semua pekerjaannya untukku? Padahal aku butuh waktu sendiri, terlepas dari hal apapun yang berhubungan dengan Ammar dan ibunya untuk sementara waktu. Bagaimana ini?" Batin Bidara riuh.
Hingga ia tak mendengar suaminya yang sudah berkali-kali memanggil namanya. Sampai saat tangan Ammar menyentuh lembut pipinya " are you ok?". Bidara tersentak, dengan terbata-bata ia menjawab "ow.. ohhh.. ehm.. yaa i'm ok.."
Ammar mengerutkan kening, kendati demikian ia tidak bertanya lebih lanjut, dan hanya menunggu reaksi Bidara. Dan untuk kesekian kalinya Bidara menghela nafas, kemudian meminum air mineralnya hingga bersisa seperempat botol saja.
Setelah merasa siap, ia pun berkata " Ammar, aku tidak sendiri, aku pergi bersama salah seorang teman penulis, Sheila.. aku pergi bersama Sheila. Dan mungkin nanti kami menjumpai beberapa teman penulis wanita ditempat yang akan kami tuju.
Aku butuh waktu dengan duniaku, aku hanya ingin mencari inspirasi untuk tulisanku, hanya itu". Bidara berkata dengan tatapan penuh harap. Dari matanya Ammar melihat sekilas kesedihan dan harapan. Maka ia memeluk isterinya dengan penuh kasih sembari berkata " pergilah sayang, jaga dirimu saat jauh dariku, dan kembalilah saat kau merasa tenang.
Ingatlah selalu bahwa aku adalah rumah bagimu". Bidara memeluk erat suaminya. Dalam dekapan Ammar, Bidara tenggelam dalam lamunannya. " Andai saja ini adalah yang sesungguhnya, bukan karena kesepakatan yang kami mulai karena perjanjian dan karena kami memang saling membutuhkan.
Ohhh sadarlah Bidara, Ammar tidak benar-benar mencintaimu, ia hanya menjalani perannya sebagai suami sesuai janjinya ketika pernikahan ini direncanakan. Dan untuk seseorang sepertiku, bukankah serakah jika mengharapkan cinta? Apakah tidak terlalu bodoh untuk percaya kata-kata manis lelaki setelah ribuan ungkapan cinta dan puja yang kudengar saat malam sebelum tidur dan menghilang saat aku bangun dan membuka mata".
Bidara tersenyum getir tatkala terasa bibir Ammar menyentuh dahinya. Ia mengangkat kepala dan dikecupnya bibir sang suami, lalu kembali menenggelamkan wajahnya di dada yang begitu menenangkan itu.
Meski merasa bersalah pada Ammar, karena alasan mencari inspirasi untuk menulis hanyalah siasat agar ia bisa memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Bidara bisa bernafas lega, karena sesuai harapan, suaminya memenuhi keinginannya.
Padahal selama ini, ia cukup menjelajahi dunia hanya dengan duduk didepan komputer saja, dan itu sudah cukup menjadi referensi untuk tulisan-tulisannya. Dan hari ini pun untuk pertama kalinya Bidara berbohong pada suaminya priha ia pergi dengan sesama teman penulis seperti yang ia katakan.
Didalam hatinya Bidara berulang kali mengucap kata maaf sambil memeluk erat suaminya.
Setelah sedikit bermanja-manja, ia pamit untuk pulang. Namun Ammar memilih untuk menyudahi sementara pekerjaannya hari ini dan mengantarkan isterinya pulang kerumah.
Post a Comment