Litani Sunyi, Ada yang Patah Malam Ini Puisi Kei Naz

Table of Contents
Litani Sunyi, Ada yang Patah Malam Ini Puisi Kei Naz

Litani Sunyi
Oleh Kei naz

Ada yang patah malam ini—bukan sekadar hati,
melainkan jiwa yang kehilangan arah
tubuh yang merindu dekap, namun terperangkap dalam sepi,
relung yang menggema di ruang hampa
Retaknya terdengar lirih,
bagai kaca yang pecah berserakan,
meninggalkan serpih nyeri.

“Kau masih mencintaiku?” tanyaku menelisik.
Kau menutup mata, dan aku hanya bisa menebak-nebak seperti apa esok, di hadapan wajah yang tak  memiliki jawaban.
“Jika iya, apakah itu cukup membuatmu tinggal?”
Lalu kita pun melanjutkan perjalanan hening, menuju asing.

Sunyi bercengkerama dengan desah dedaunan,
menyanyikan melodi pilu, sementara di antara kita,
sepi memagut  gamang.
Jemariku terulur meraih mu,namun yang ku dapati hanyalah tubuh dengan jiwa terbelah
dan jarak yang lebih tajam dari sebilah pisau.
Aku tahu, separuh dirimu telah pergi,
sedang sisanya bertahan di sini—
membeku dalam dingin, nyaris tiada.

“Jangan salahkan aku,” katamu.
Aku tersenyum pahit.
“Bagaimana mungkin ku salahkan kehilangan,
sedang aku yang tak sanggup menggenggam?”

Sayang, cinta ini telah berganti wajah— dari semburat cahaya yang pernah menghangatkan,
menjadi bara yang melahap tenang ku sendiri.
Aku terperangkap dalam api yang ku sulut,
sementara kau hanya terpaku,
menyaksikan diriku perlahan menjelma abu.

Maka biarkan hatiku merubaiyat luka,
bersujud di bawah langit yang dipayungi cinta.
Detik-detik luruh bagai daun kering,
sementara rindu kian mengendap di tepian napas yang sempit, lirih bagai desir melingsir pesisir palung yang dipenuhi luka nganga.

Ada cinta yang lahir hanya untuk melintas—
seperti bintang yang sejenak menyinari malam,
meninggalkan cahaya lembut di angkasa,
lalu lenyap sebelum fajar menebar harapan.

Aku memeluk bayangmu hingga jari-jari ini membeku,
menghafal jejak kata yang tersisa di bibir,
kemudian perlahan melepaskan—
bukan karena lupa,
melainkan sebab cinta terkadang memilih menyerah di hadapan takdir.

Perlahan, ku titipkan litani sunyi ke pangkuan langit,
bukan untuk kembali,melainkan agar rindu yang menggerogoti dada
menjelma embun getir,
menyusuri kota bisu tanpa doa,
hingga setiap keluh yang tercabik
menyala sebagai pelita rapuh
di malam yang menanggung nestapa.

***
Demikian puisi karya Kei Naz. 

(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment