Kasih yang Menunduk Puisi Cinta Sejati Penuh Ketulusan Karya Muraz Riksi
Table of Contents
Kasih yang Menunduk
Oleh Muraz Riksi
Seberapa sering kau menatap matanya,
dan di sana menemukan senyum yang tak kau pahami?
Seberapa sering rindu bersembunyi di antara diam kalian,
menunggu disapa oleh hati yang saling menahan diri?
Kadang cinta tidak bersuara,
ia hanya menjadi nafas yang tenang di tengah amarah,
seorang laki-laki yang memilih diam,
bukan karena kalah, tapi karena cinta yang dewasa.
Ia tidak menganggapmu lawan dalam pertengkaran,
ia mendengarkan, meski hatinya luka,
meski kata-katamu tajam, menoreh jiwa,
ia tetap diam—bukan karena lemah,
melainkan karena kasihnya lebih tinggi dari gengsi manusia.
Dan perempuan,
cintanya adalah keheningan yang menunduk,
saat kata hampir meluncur dan hati hampir retak.
Ia memilih menenangkan badai dalam dirinya,
sebelum menghancurkan pelabuhan yang menampung cintanya.
Ia menunduk bukan karena tunduk pada salah,
melainkan karena ia tahu,
cinta bukanlah siapa yang menang bicara,
melainkan siapa yang rela menjaga cinta tetap bernyawa.
Di saat ia mencium tangan laki-lakinya,
itu bukan bentuk kalah, tapi doa yang menjelma nyata:
semoga hati yang saling mencinta,
tak lagi saling melukai,
melainkan saling memahami dalam kasih yang suci.
Bireuen, 08 Oktober 2025
Makna dan Pemahaman Puisi “Kasih yang Menunduk”
Puisi ini berbicara tentang bentuk cinta yang matang antara suami dan istri — bukan cinta yang sekadar berbunga, tetapi cinta yang telah belajar menahan diri.
Dalam bait-bait awal, penulis menggambarkan bagaimana laki-laki yang mencintai dengan tulus tidak membalas amarah dengan amarah. Ia memilih diam karena cintanya bukan tentang membuktikan siapa yang benar, tetapi menjaga agar hubungan tetap utuh. Diamnya bukan tanda pasrah, melainkan bentuk pengendalian diri yang lahir dari kasih.
Sementara itu, perempuan dalam puisi ini digambarkan sebagai sosok yang menunjukkan cintanya dengan kelembutan dan kebijaksanaan. Ia “menunduk” bukan karena lemah, tapi karena memilih jalan yang lebih damai — menurunkan ego untuk menjaga harmoni. Menunduk di sini menjadi simbol cinta yang penuh kesadaran dan penghormatan.
Puisi ini pada dasarnya adalah refleksi tentang cinta yang membawa kepada hubungan Sakinah, mawaddah dan warahmah:
bahwa kasih sejati tidak selalu diukur dari kata-kata indah atau kemenangan dalam perdebatan,
melainkan dari kemampuan untuk memahami, menahan diri, dan menundukkan ego demi kebaikan bersama.
Baca Juga : Puisi, Cerpen dan Cerbung Muraz Riksi Lainnya
***
Demikian puisi cinta yang tulus yang menyentuh hati.
(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...
Post a Comment