Surat yang Tak Pernah Sampai Kumpulan Puisi Sedih Karya Kei Naz
Table of Contents
Sisa Doa di Antara Debur dan Lebur
Oleh Lentera_merindu/KeiNaz
Mau kukatakan apalagi,
jika seluruh getir dengan dada gemetar menyebut namamu
tak cukup meyakinkanmu,
bahwa patuhku pada petuah cinta
telah pun luruh di tepi nabastala,
tempat langit dan laut saling menatap
dengan mata digenangi ratap
Cinta, yang dulu kukira abadi,
kini menjadi bara memanas hingga ke liang samudra
tetapi nyalanya samar sebab memar bertahun bertandang di dada.
Mau kujelaskan seperti apa,
rindu yang menggigil di bawah remang semesta,
yang menunggu angin untuk sekadar mengingat.
Ia menubruk karang demi karang,
menggores luka di dinding laut,
menjadi litani doa yang tak sempat sampai ke langit.
Bayu pun gentar membawanya pulang,
sebab di setiap hembusnya ada rintih,
dan di setiap rintih ada tikam.
Mau kuungkap,
bagaimana lebur dan debur berpadu menjadi sunyi,
bagaimana buih menjadi saksi
atas cinta yang perlahan menua tanpa sempat mereguk peluk
Aku telah menjadi karang—
keras di luar, tapi ringkih di dalam,
menyimpan serpih-serpih suaramu di sela retak waktu.
Dan bila kelak laut ini reda,
bukan berarti aku sembuh,
melainkan aku tenang berkawan badai
meski sekujur tubuh yang mencintaimu rimpuh tanpa kata "kita"
Kini, di antara debur dan lebur,
aku hanya sisa doa yang berlayar tanpa arah,
menyebut namamu tak lagi sebagai rintih,
melainkan sebagai cahaya kecil
yang pernah singgah di samudra dadaku.
Sebab, mungkin begitulah nasib cinta—
ia tak mati, hanya berpindah wujud,
menjadi ombak yang tak berhenti memeluk pantai,
meski tahu, setiap pasang
adalah jalan menuju perpisahan lagi.
------------
Balikpapan, Oktober 2025
Surat yang Tak Pernah Sampai
1/Lentera Merindu
Setiap malam, perempuan itu menulis—huruf-hurufnya terlahir dari sepi yang terlalu panjang, dari rindu yang menolak padam meski sudah berkali-kali dikebumikan dalam doa. Di atas meja kayu, lampu redup menyorot tinta yang bergetar di ujung pena. Ia menulis tentang kasih yang tak tahu arah pulang; tentang peluk yang berhenti di denyut jantungnya, tapi tak pernah tertaut di lengan siapa pun.
Surat-surat itu selalu dimulai dengan sebuah nama—seperti litani doa yang tak lelah disembah, tapi juga tak pernah dijawab. Ia bercerita tentang cinta yang tumbuh di antara debat dan diam, tentang luka yang ditinggalkan waktu seperti tikaman yang halus namun dalam, menembus jantung harapannya.
Kadang ia menulis dengan air mata, kadang dengan tawa yang terlalu tipis untuk disebut bahagia. Di setiap kalimatnya, ada getir yang menetes perlahan; ada badai kecil di dada yang tak kunjung reda.
Jika napasnya menyentuh pagi, ia akan berjalan ke kantor pos di ujung kota—gedung tua dengan cat yang mengelupas, bau debu dan nostalgia bersatu di udara. Ia akan menyerahkan amplop itu pada petugas yang tak tahu bahwa di dalamnya, terlipat seluruh hidupnya yang ringkih.
Ia menulis alamat, tapi entah kepada siapa. Mungkin pada waktu yang tak berpihak, mungkin pada cinta yang tak jadi pulang, atau pada dirinya sendiri yang perlahan hilang.
Dan setiap kali ia menutup suratnya, ia tahu—yang sampai bukanlah pesan, melainkan perih yang kembali.
2/Liang Kenang
Kadang, malam datang terlalu senyap—seperti seseorang yang tahu kepulangannya tak pernah dinanti siapa pun, namun ia tetap ingin mengetuk pintu. Lentera di sudut kamar bergoyang perlahan, cahayanya memantul di dinding, meniru denyut yang tak jua tenang di dada. Di luar, varsha turun rintik-rintik, mengguratkan wajah langit yang letih menahan nestapa.
Ia duduk di depan jendela, menatap kabut yang menggulung di luar sana. Di tangannya, selembar kertas kembali terlipat setengah, belum selesai, seperti hati yang enggan menulis akhir dari harapannya. Kali ini tak ada nama di sana—hanya aksara yang berjalan pincang, seperti langkah seseorang yang kehilangan arah pulang.
Barangkali, beginilah rupa cinta setelah waktu menelannya perlahan: ia tidak mati, tapi hidup dengan cara yang aneh. Ia menua tanpa renta, menyesap hirap tanpa pernah benar-benar kering. Setiap ingatan menjadi atma yang berdiam di antara sela napas, berdoa agar tak lagi diingat, tapi juga tak pernah sanggup melupakan.
Ada sesuatu yang sunyi di balik tiap desiran angin—seakan seluruh semesta mengulang namamu, lalu berhenti di tenggorokan malam. Lentera pun mulai redup, seperti mata yang lelah menatap bayangan sendiri.
Dan lantas, siapakah di antara mereka yang lebih dulu menuju liang kenang?
Yang satu menulis, yang satu hilang.
Yang satu bertahan, yang satu berpulang.
Namun cinta, dalam segala bentuknya yang ringkih dan berdebu, tetap berjalan—menyusuri waktu, menunggu aksama dari sesuatu yang tak lagi kembali.
3/Surat Terakhir: Monolog di Bawah Lentera
Malam ini… aku menulis lagi.
Entah untuk siapa.
Mungkin untukmu,
atau mungkin hanya untuk memastikan bahwa aku masih hidup.
Lentera di meja bergoyang perlahan,
cahayanya menari di dinding seperti sisa napas yang enggan padam.
Di luar, varsha turun—rintiknya seperti mengetuk jendela,
mengingatkanku pada sesuatu yang pernah hangat,
pernah sederhana.
Pernah ada.
Aku sudah berhenti berharap,
benar-benar berhenti.
Tak ada lagi nama yang kusebut dalam doa,
tak ada lagi mimpi yang kupeluk sebelum tidur.
Yang tersisa hanya cinta kecil di dada,
cinta yang tidak besar,
tidak berapi,
tapi cukup—
cukup untuk membuatku hidup sedikit lebih lama.
Kadang, aku masih memikirkan mu.
Bukan karena rindu,
tapi karena waktu belum menemukan cara yang baik untuk melupakan.
Setiap kali namamu melintas di kepala,
aku menunduk—
ada getir melingsir dada
ada nestapa menyuguhkan secangkir sepi
seolah semesta berjalan ringkih lalumenua bersamaku.
Aku telah merapikan segala permohonan.
Satu per satu, ku letakkan di laci tua,
bersama surat-surat yang tak pernah sempat kukirim.
Aku tidak ingin menyentuhnya lagi.
Biarlah ia berdebu,
biarlah ia membatu.
Sebab setiap kali kubuka,
aku kembali menjadi perempuan yang memohon pada sesuatu
yang tak lagi ada di sini.
Barangkali cinta memang tak berpihak pada mereka
yang terlalu lembut mencintai.
Dan aku…
aku sudah tidak apa-apa dengan itu.
Lantas seperti langit yang berpaling pada musim lain,
aku belajar pergi tanpa langkah,
belajar melepaskan tanpa suara.
Tidak ada dentum,
tidak ada pamit,
hanya denyar yang pulih meski perih
Jika esok pagi,
kau mendengar namaku terbawa angin—
jangan menoleh.
Itu hanya aku,
yang akhirnya memilih tenang di bawah langit yang pernah kita bagi,
meninggalkan sedikit cahaya dari lentera ini
agar kau tahu…
aku pernah ada,
dan pernah mencintaimu,
dengan seluruh atma yang kumiliki.
-----------
Balikpapan/29 Oktober 2025
Lentera merindu
KeiNaz
Sebuah Pengakuan
Oleh KeiNaz/Lentera Merindu
Barangkali, Kau datang dari celah cahaya yang menolak padam, dari rahasia yang diselipkan semesta di antara dua detik keheningan langit. Ada lembut yang nyaris tak terucap di langkahmu, hingga waktu pun berhenti sejenak untuk mengingat namanya sendiri. Mungkin kau bukan manusia sepenuhnya—melainkan doa yang tersesat di dada Tuhan, lalu dijatuhkan perlahan ke bumi dengan wajah yang berulang kali singgah di mimpiku.
Sebab aku terlalu pandai berpura-pura tidak mencari apa pun, tapi langkahku selalu menuju tempat di mana kau berdiri. Aku menulis namamu di udara, dan angin mengucapkannya kembali dengan lembut, seolah ikut jatuh. Aku tak tahu di mana cinta berakhir dan candu bermula, yang aku tahu, setiap kali menatapmu, aku seperti mengingat sesuatu yang belum pernah terjadi, tapi terasa benar adanya.
Terbuat dari apa debarku ini, berkali-kali memar menakar sabar, demi debur rindu dan nyala sunyi yang gugur tetapi menolak mati. Kau mungkin cuma peristiwa kecil di mataku, tapi di dada—kau meledak seperti galaksi yang baru lahir. Ada getar yang tak biasa, ada damai terasa seperti luka yang dijamah dengan mantra magis, lalu kalis di liang ingatan.
Jika Tuhan berkenan, biarkan aku tersesat di matamu tanpa peta, tanpa jalan pulang. Sebab di sana, waktu bukan garis, tapi lingkaran—dan aku ingin berputar di dalamnya selamanya. Izinkan kudekap erat rasa ini, mencintaimu seperti musim mencintai pergantiannya sendiri: rela kehilangan, tapi tak pernah menyesal. Sebab setiap jatuh pada namamu adalah pulang yang paling jujur yang pernah kumengerti.
-------------
Balikpapan/30 Oktober 2025
Baca Juga : Gubahan Puisi Karya Kei Naz Lainnya
***
Demikian puisi karya Kei Naz.
(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment