Perjalanan Luka, Ziarah Jiwa dalam Sunyi dan Keperihan Puisi Sedih Karya Kei Naz

Table of Contents
Perjalanan Luka, Ziarah Jiwa dalam Sunyi dan Keperihan Puisi Sedih Karya Kei Naz

Setiap luka memiliki bahasanya sendiri — ada yang menjerit, ada yang berdoa dalam diam.
Puisi “Perjalanan Luka” karya KeiNaz (Lentera Merindu) ini membawa pembaca menelusuri tiga babak batin: Ratapan, Amuk Sunyi, dan Penerimaan Palsu.
Di dalamnya, tersimpan kisah seorang jiwa yang berjuang antara ingin sembuh dan takut kehilangan rasa. Ia menulis tentang cinta yang berubah menjadi altar kesakitan, tentang amarah yang menjadi puisi, dan tentang penerimaan yang terasa lebih seperti penyamaran.

“Perjalanan Luka” bukan sekadar tentang patah hati — ia adalah perjalanan menemukan diri di tengah reruntuhan.
Bahwa terkadang, kita tak benar-benar ingin sembuh, karena di dalam luka itulah kita akhirnya belajar mengenali siapa diri kita yang sebenarnya.

Perjalanan Luka

I. Ratapan

Sumpah, hatiku sakit.
Ada nyeri yang merambat seperti akar tua di dasar tubuhku, menjalar hingga ujung nadi.
Aku tak lagi tahu, apakah darah yang mengalir ini masih hidup,
atau hanya sisa air mata yang membeku dalam bentuk lain.
Setiap malam aku menulis namamu di langit,
namun bintang-bintang membalas dengan diam yang getir.
Mereka tahu, barangkali,
betapa aku pernah memeluk badai seolah itu pelukanmu.

Di dada ini ada gereja sunyi,
tempat aku sembahyang pada luka-luka.
Tiap retakan menjadi ayat, tiap perih menjadi ziarah.
Aku mencium sisa luka itu seperti mencium dupa di altar yang sepi —
wangi getirnya menempel di ingatan.
Tuhan, bila Kau mendengar, jangan sembuhkan aku;
biarkan aku mengingat, agar aku tak mudah percaya lagi.

II. Amuk Sunyi

Aku pernah menjadi ladang tempat cinta tumbuh,
kini aku adalah padang terbakar.
Api kemarahan menjilat setiap kenangan,
membakar harapan hingga tinggal abu yang menolak pergi.
Aku ingin memaafkan, sungguh — tapi bagaimana,
jika setiap “maaf” terasa seperti menusuk pisau ke dada sendiri?

Kau mengajarkanku arti kesetiaan,
lalu menghukumku karena terlalu setia.
Sungguh, cinta macam apa yang membuat seseorang menyalib dirinya sendiri demi membahagiakan orang lain?
Aku tidak suci. Aku hanya bodoh —
dan kebodohan itulah yang paling setia.

Kini aku berdiri di hadapan reruntuhan yang dulu bernama “kita”.
Kau tahu?
Tak ada yang lebih menakutkan daripada menatap puing yang masih mencintai api yang membakarnya.
Aku menari di atas pecahan kaca —
bukan karena aku kuat,
tetapi karena aku tak lagi punya tempat untuk jatuh.
Setiap langkahku melahirkan luka baru,
namun anehnya, aku mulai menemukan keindahan di dalam sakit itu.

III. Penerimaan Palsu

Malam-malam kini terasa lebih teduh, tapi bukan karena sembuh.
Hanya karena aku telah belajar menyamarkan derita dalam diam.
Aku bicara pada semesta dengan bahasa yang bahkan duka tak lagi mengerti.
Aku belajar tertawa, bukan karena bahagia,
tapi karena sunyi tak bisa terus-menerus dirawat tanpa gila.

Kadang aku merasa Tuhan mencintaiku dengan cara yang paling aneh:
membiarkanku hancur, agar aku tahu bentuk utuhku dulu hanya ilusi.
Mungkin luka memang rumah paling jujur bagi jiwa-jiwa yang tersesat.
Dan di sana, aku menemukan diriku —
berdarah, ringkih, tapi nyata.

Jadi jika suatu hari kau melihatku menatap langit,
jangan kira aku sedang berdoa.
Aku hanya sedang menghitung sisa bintang yang belum padam,
seperti menghitung sisa bagian diriku yang belum sepenuhnya mati.

--------------
Balikpapan, 9 NOV 2025
KeiNaz/Lentera Merindu

***
Demikian puisi karya Kei Naz. 

(Catatan Penutup)
Terima kasih telah berkunjung ke website Sampah Kata.
Salam kopi pahit...

Post a Comment