Semua Demi Konten! Benarkah Dollar Itu Rezeki yang Berkah, atau Sekadar Cuan yang Menipu?

Table of Contents
Semua Demi Konten! Benarkah Dollar Itu Rezeki yang Berkah, atau Sekadar Cuan yang Menipu?

Di tengah derasnya arus digital, mari kita duduk sejenak, menarik napas pelan, dan berbicara kepada hati kita sendiri. Dunia berubah begitu cepat; dan media sosial—yang pada mulanya hanyalah alat untuk saling terhubung—kini menjadi panggung tempat manusia berlomba memperlihatkan hidupnya. Tidak ada yang salah dengan media sosial, sebab ia hanyalah wasilah. Namun, semakin sering kita melihat fenomena yang membuat hati ikut menghela napas: ketika kamera lebih cepat diangkat daripada tangan yang menolong, ketika pertengkaran berubah menjadi tontonan, dan ketika hal-hal yang seharusnya dijaga justru dibuka di hadapan banyak mata.

Ada pula perempuan yang menari tanpa memperhatikan batasan syariat, serta istri yang lebih sibuk berhias untuk pandangan dunia daripada untuk suaminya sendiri. Fenomena seperti ini bukan untuk kita hakimi, tetapi untuk kita renungi bersama, terutama bagi diri kita sendiri sebagai seorang muslim.

Di sisi lain, banyak pula yang membagikan ilmu—sayangnya hanya sepotong—dan menjadikannya standar hidup. Tidak sedikit istri yang mengambil potongan nasihat tersebut sebagai pedoman, tanpa pengetahuan yang utuh, hingga melahirkan kesalahpahaman dan pertengkaran dalam rumah tangga.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tetapi sebagai cermin lembut agar kita kembali menata niat, memperbaiki cara memandang, dan menjadikan media sosial sebagai sarana kebaikan, bukan sumber keretakan.

Allah mengingatkan kita dalam firman-Nya:

“Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan.”
(QS. At-Takatsur: 8)

Media sosial adalah salah satu kenikmatan—yang kelak juga akan ditanya bagaimana kita memanfaatkannya.

I. Ketika Segala Sesuatu Menjadi Konten

Fenomena hari ini membuat banyak dari kita bertanya: apakah semua demi konten?
Ada kecelakaan, kamera langsung menyala. Ada rumah tangga bertengkar, tangan refleks mengangkat ponsel. Ada aib tetangga, segera direkam dan diunggah. Bahkan ada yang mengejar cuan dari konten apa pun, meski hanya menghasilkan uang yang tak seberapa.

Lalu terbit pertanyaan lembut dalam hati:
Apakah rezeki yang hadir dari membuka aib, merendahkan martabat, atau menampilkan hal yang sia-sia itu termasuk rezeki yang berkah?

Kapan terakhir kali kita benar-benar melihat manusia sebagai manusia, bukan sebagai peluang konten?
  • Di jalan raya, seorang pengendara terjatuh. Bukannya tangan yang terulur, justru kamera yang lebih dulu menyala.
  • Di pelataran rumah, pasangan bertengkar. Suara benturan emosi itu bukan dipisahkan… tetapi direkam dalam diam.
  • Di sekolah, anak kecil menangis ketakutan. Namun sebelum direngkuh, wajah polosnya sudah menjadi konsumsi dunia.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.”
(HR. Tirmidzi)

Sungguh, betapa banyak hal yang kita abadikan sebenarnya tidak membawa manfaat, bahkan kadang merugikan hati kita sendiri. Fenomena-fenomena ini membuat kita bertanya lembut pada diri sendiri:

Apakah kita masih punya ruang untuk empati sebelum konten?

Kamera begitu cepat dinyalakan, sementara hati begitu lambat mengingat bahwa manusia butuh ditolong, bukan direkam.

II. Ketika Malu Menjadi Pudar oleh Sorotan Kamera

Ada pula fenomena lain: sebagian perempuan mulai berani menampilkan diri tanpa busana yang sesuai dengan syariat; ada istri yang berhias berlebihan demi tampil cantik di media sosial, bukan untuk suaminya, tapi untuk dunia yang tidak ia kenal.
  • Ada perempuan yang menari dengan pakaian tipis mengikuti alunan tren.
  • Ada istri yang berhias begitu indahnya… bukan untuk lelaki yang halal baginya, tetapi untuk mata-mata asing yang tak ia kenal.
Tulisan ini bukan untuk menggurui, apalagi menyalahkan—melainkan renungan lembut bagi diri kita sendiri, karena setiap dari kita sedang belajar menjaga diri di tengah badai godaan. Karena dunia telah berubah terlalu cepat, dan nilai malu kadang kalah oleh pencahayaan ring-light.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangan mereka dan memelihara kehormatan mereka...”
(QS. An-Nur: 31)

Betapa indahnya syariat yang menjaga kita, bukan membatasi. Ia menjaga kehormatan perempuan, menjaga ketenangan rumah tangga, dan menjaga fitrah kecantikan agar tetap berada pada tempatnya.

Kecantikan bukan untuk dipamerkan kepada dunia yang tak peduli; ia adalah amanah yang dijaga demi kemuliaan diri.

III. Ketika Monetisasi Menjadi Godaan

Pada era digital, banyak orang berlomba mengejar cuan dari konten, bahkan dari hal-hal yang sebenarnya tidak patut dipertontonkan.

Contoh Nyata
  • Ada sebuah video viral yang memperlihatkan anak kecil dipaksa melakukan challenge berbahaya demi views. Setelah viral, kontennya menghasilkan cuan—tetapi apakah rezeki seperti itu membawa keberkahan?
  • Ada pula yang membuat konten prank berujung menyakiti orang lain, tetapi tetap dilanjutkan karena menghasilkan uang.
Allah berfirman:

“Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik…”
(QS. Al-Baqarah: 168)

Renungan lembut untuk diri:
"Rezeki tidak hanya dilihat dari jumlahnya, tetapi juga dari jalannya".

IV. Ketika Ilmu yang Sepotong Menjadi Standar Hidup

Media sosial dipenuhi potongan-potongan ilmu—kadang tanpa dalil, tanpa konteks, tanpa guru.
Misalnya standar tentang istri atau rumah tangga, yang kemudian dijadikan pedoman hidup oleh sebagian orang tanpa pengetahuan yang cukup. Akibatnya, muncul kesalahpahaman, pertengkaran, bahkan retaknya hubungan suami istri.

Contoh Nyata
  • Ada konten yang berkata bahwa “istri wajib begini” atau “suami harus begitu”, tetapi tanpa konteks fikih, adab, atau kondisi rumah tangga. Akibatnya, banyak pasangan bertengkar karena merasa pasangan tidak memenuhi “standar” yang mereka lihat di video.
  • Ada istri yang menuntut suami berdasarkan kutipan pendek.
  • Ada suami yang marah karena video motivasi membentuk “standar kesempurnaan” yang tak manusiawi.
Padahal rumah tangga bukan potongan konten—ia jiwa yang dipertemukan oleh Allah, bukan oleh algoritma. Allah memerintahkan kita untuk tabayyun, memastikan kebenaran sebelum mengikuti sesuatu:

“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah kebenarannya...”
(QS. Al-Hujurat: 6)

Menuntut ilmu itu mulia, namun mengambilnya dari potongan 30 detik sering membuat kita lupa bahwa setiap hukum memiliki syarat, penjelasan, dan hikmahnya.

Ilmu yang dipotong-potong seperti buah yang belum matang; manis di awal, tapi bisa menyakitkan di akhir.

V. Muhasabah: Kembali Melihat ke Dalam Diri

Tulisan ini bukanlah vonis, ini adalah cermin. Dan cermin tidak pernah memaksa; ia hanya memantulkan apa yang ada.

Marilah kita bertanya lembut kepada diri:
  • Sudahkah aku menggunakan media sosial sebagai ladang kebaikan?
  • Sudahkah aku menjaga kehormatan dan pandangan?
  • Sudahkah aku berhati-hati dalam mengambil ilmu?
  • Sudahkah aku menahan diri dari hal yang tidak bermanfaat?
Contoh Renungan yang Sering Terjadi
  • Kita terlalu sering membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain yang tampak sempurna di layar.
  • Kita pernah menyakiti hati seseorang hanya dengan komentar singkat.
  • Kita pernah melirik hal-hal yang tidak pantas dilihat, hanya karena muncul di beranda.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Betapa indah jika setiap konten yang kita keluarkan adalah kebaikan, atau setidaknya tidak membawa mudarat.

Sebelum jari menekan tombol posting, hati bertanyalah pada niat: apakah ini mendekatkan atau menjauhkan dari ridha-Nya?

VI. Penutup: Doa agar Hati Tetap Terjaga

Di dunia digital yang serba cepat ini, mari perlahan kita jaga hati. Karena hati adalah sumber niat, dan niat adalah penentu arah hidup.

Ya Allah…
Jagalah mata kami dari hal yang Engkau tidak rida.
Luruskan niat kami saat menggunakan media sosial.
Jadikan setiap rezeki yang Engkau titipkan sebagai rezeki yang halal dan penuh berkah.
Lembutkan hati kami agar bijaksana dalam berkata dan bertindak.
Amin ya Rabbal ‘alamin.

Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat yang halus, bukan teguran yang keras; menjadi cahaya kecil di tengah hiruk-pikuk konten digital. Semoga kita menjadi hamba yang lebih tenang, lebih bijaksana, dan lebih dekat dengan Allah dalam setiap langkah—termasuk saat menggulir layar ponsel kita.

Post a Comment