Suara dari Aceh Agar Duka Ini Tidak Diulang, Ini Bukan Sekadar Bencana Tapi Kehilangan dan Isolasi
Suara dari Aceh Agar Duka Ini Tidak Diulang
Jika tulisan ini sampai ke tangan siapa pun yang membaca dengan hati:
ingatlah bahwa bencana bukan sekadar berita harian.
Ini adalah kisah manusia yang masih hidup dalam ketakutan setiap kali awan gelap mulai berkumpul.
Aceh sekarang tidak hanya butuh bantuan logistik,
tapi juga butuh kejujuran, keberanian, dan kebijakan yang memihak keselamatan manusia serta kelestarian alam.
Karena selama hutan ditebang tanpa kendali, selama sungai dirusak, selama alam dipaksa tunduk,
maka air bah akan terus datang membawa lumpur, kayu gelondongan, dan duka yang lebih berat dari sebelumnya.
Semoga kita tersadar sebelum alam kembali mengucapkan peringatannya. Kali ini mungkin lebih keras, lebih deras, dan lebih mematikan.
Semoga Aceh kuat.
Semoga Indonesia belajar.
Semoga manusia kembali bersahabat dengan alam sebelum alam benar-benar kehilangan kesabarannya.
Untuk Aceh, untuk Sumatra, untuk kita semua.
Luka yang Tak Tertangkap Kamera, Duka, Kehilangan, dan Isolasi
Bencana ini melukai lebih dari badan dan rumah. Ia melukai hati.
Banyak keluarga kehilangan anggota, orang tua, anak, tetangga yang hilang atau meninggal.
Puluhan, ratusan kampung lenyap bukan karena konflik, bukan karena manusia, tetapi karena alam yang dipaksa berubah.
Banyak wilayah kini terisolir: listrik padam, telekomunikasi mati, air bersih hilang, jalan berubah jadi lumpur membuat warga dan relawan seperti hidup di dunia tersisihkan.
Kecewa karena sering, bantuan terlambat tiba, atau bahkan terlambat sampai di tangan mereka yang paling membutuhkan. Relawan yang datang sering harus menanggung sendiri biaya transportasi ke lokasi terpencil, beban material dan emosional.
Ini Bukan Sekadar Bencana Tapi Panggilan Hati untuk Kita Semua
Banjir dan longsor ini bukan semata soal hujan deras. Banyak petugas lingkungan dan relawan menyebut bahwa kerusakan hutan, penggundulan alam, deforestasi yang diiringi eksploitasi lahan, pertambangan, konversi lahan turut memperparah bencana.
Artinya: bencana hari ini adalah konsekuensi dari keputusan manusia memilih keuntungan cepat, tanpa berpikir jangka panjang.
Kita kehilangan bukan hanya hutan, tetapi penyangga hidup: tanah yang menyerap air, pohon yang menahan longsor, sungai yang dikendalikan dengan bijak.
Ketika alam dipaksa, ia membalas bukan dengan angin sepoi-sepoi, tapi dengan air deras, lumpur, dan luka dalam.
Harapan di Tengah Duka, Panggilan untuk Kepedulian dan Tindakan
Tapi saya percaya kita masih punya harapan. Harapan yang lahir dari rasa kemanusiaan, dari suara relawan yang berjalan menembus lumpur dan jurang, dari senyum seadanya dari anak-anak pengungsi, dari harapan untuk membangun kembali lebih dari sekadar rumah: membangun kembali rasa aman, rasa teduh, rasa manusia.
Saya memohon kepada siapa pun yang membaca ini:
Ingat bahwa setiap titik longsor, setiap rumah terendam, bukan sekadar angka statistik. Itu adalah kehidupan manusia.
Jika kita bisa membantu dalam bentuk doa, donasi, suara, atau setidaknya menyebarluaskan kisah ini, lakukanlah. Karena dukungan kecil kita bisa berarti besar bagi mereka.
Dorong tanggung jawab bersama agar alam dijaga, kebijakan dijalankan dengan hati nurani, akses dibuka tanpa syarat mahal bagi mereka yang membutuhkan.
Suara untuk Mereka yang Terlupa
Aceh sekarang menangis. Desa-desa porak-poranda. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, banyak anak kehilangan masa depan, banyak relawan terluka lelah tapi semangat kemanusiaan tetap menyala.
Biarlah duka ini tidak sia-sia. Biarlah setiap air mata menjadi jeritan perubahan agar kelak, ketika langit menurunkan hujan, kita tidak gentar. Karena kita telah belajar bahwa saat alam berteriak kemanusiaan harus membalas.
Semoga kita tidak tinggal diam. Semoga kita tergerak. Semoga Aceh dan Sumatra bangkit bukan cuma dari lumpur, tapi dari lupa, dari sengsara, dari ketidakpedulian.
Ketika Hutan Menangis, Kita Pun Akhirnya Ikut Menangis
— Seruan dari Tanah yang Tak Lagi Punya Penopang —
Ada saat di mana langit tak hanya menurunkan hujan, tapi juga menurunkan peringatan.
Dan hari ini, Aceh menerima peringatan itu dengan cara yang paling menyakitkan.
Air bah datang bukan hanya membawa lumpur, tapi juga kayu-kayu gelondongan besar yang meluncur seperti tubuh raksasa yang patah.
Kayu-kayu itu bukan sekadar benda mati.
Mereka adalah pohon-pohon yang dulu berdiri anggun, menyimpan air, dan menjaga kita dari bencana.
Sekarang mereka jatuh, hanyut, dan menghantam rumah-rumah.
Seakan-akan mereka sedang berkata:
“Maafkan kami… kami tak bisa lagi menjagamu.
Karena kami pun telah kehilangan akar.”
Bukan Hanya Rumah yang Hanyut Tapi Rasa Aman Kita Juga
Air membawa semuanya pergi, dapur, kamar tidur, kenangan, dan tempat berlindung.
Di desa-desa yang jauh dari sungai pun, banjir dan lumpur datang seperti tamu tak diundang, menutup jalan dan menelan rumah hingga tak tampak lagi bentuknya.
Di balik setiap rumah yang hanyut, ada keluarga yang tak tahu harus mulai dari mana.
Di balik setiap jembatan yang putus, ada warga yang terkurung tanpa akses.
Di balik setiap relawan yang harus membayar untuk menyeberang demi membawa bantuan, ada rasa sedih yang tak mampu mereka ungkapkan.
Namun di balik semua itu…
ada satu pelajaran besar yang tak boleh kita abaikan:
Hutan yang dirusak akan membalas.
Bukan karena ia jahat,
tapi karena ia tak punya lagi kekuatan untuk melindungi kita.
Hutan Bukan Lagi Hanya Urusan Pepohonan, Ini Urusan Nyawa
Ketika pohon ditebang, bukan hanya batang yang tumbang.
Yang tumbang adalah masa depan.
Hutan itu seperti ibu.
Diam, sabar, memeluk, menahan, dan menjaga.
Ketika hujan turun, ia menahan tanah agar tak longsor.
Ia menyimpan air agar sungai tetap tenang.
Ia menyerap curah yang deras agar banjir tidak datang.
Namun ketika ibu itu disakiti,
ketika pohon-pohon dicabut tanpa ampun,
ia tak bisa lagi menahan apa pun.
Dan ketika ia tak bisa menahan… kita semua yang terhantam.
Menjaga Hutan Artinya Menjaga Diri Kita Sendiri
Bencana ini bukan hanya cerita.
Ini pesan.
Pesan agar kita tidak lagi menutup mata saat hutan dirampas.
Pesan agar kita tidak hanya bersimpati saat bencana terjadi, tetapi juga bertindak sebelum bencana selanjutnya datang.
Karena:
Jika hutan habis, longsor akan menjadi langganan.
Jika hutan tak lagi berdiri, banjir akan datang lebih cepat dari hujan.
Jika sungai kehilangan penyangga, ia akan berubah menjadi monster.
Jika kita terus membiarkan hutan dirusak, maka anak cucu kita tak akan punya dunia yang aman untuk ditinggali.
Kita Tidak Punya Hutan Cadangan, Kita Tidak Punya Bumi Pengganti
Hari ini, Aceh menangis.
Tapi sebenarnya, yang menangis adalah alam yang selama ini selalu menjaga kita.
Maka mari kita jawab tangisnya.
Bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan:
Menjaga hutan yang tersisa.
Menanam kembali hutan yang hilang.
Melaporkan perusakan sebelum menjadi bencana.
Mendukung masyarakat yang menjaga hutan.
Mendukung kebijakan yang berpihak pada alam.
Karena menjaga hutan berarti menjaga hidup kita sendiri.
Dan semoga suatu hari nanti, ketika hujan turun lagi,
kita tidak lagi ketakutan…
karena kita tahu bahwa hutan telah kembali kuat untuk memeluk kita.

Post a Comment